biar lebih akrab..bisa kesan tentang blog ini, request data or tampilan yang diminta, ato sekadar berbagi link…silakan..
sebuah cerita tentang hidup
biar lebih akrab..bisa kesan tentang blog ini, request data or tampilan yang diminta, ato sekadar berbagi link…silakan..
Ass.wr.wb.
Aku salut, blog nya bagus sekali. Boleh saya minta informasi : Buku apa yang dipakai Mas Dimas sebagai pegangan membuat blog?
Wass.
judul bukunya, “nekat dan mencoba-coba”, jangan takut, kan bisa dibalikin lagi…hehehe…selamat mencoba..menarik kok…
Assalamu’alaikum warahmatullah…
Terus maju ya anak muda yang pintar….cerdaskan bangsa kita….SEMANGAT!!!
halo, salam kenal…saya perlu no contact Bpk.Fasli, tlg japri boleh ga? mksh.
Minggu 4 Nopember 2007 itu kali saya pertama saya melihat Kak Seto bercerita di HUT PLN. Asik juga ya Pak Buaya? Mau sih sesekali Kak Seto ke Cirebon Jawa Barat, bercerita dan ikut carikan solusi masalah anak di sana. Tq.
PERANG MELAWAN SAMPAH SECARA TOTAL
MULAI DARI DIRI DAN LINGKUNGAN SENDIRI
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Unggulan Tanah Datar
Mhs. Pascasarjana UNP
Di mana – mana sekarang banyak orang membicarakan tentang lingkungan hidup. Topik lingkungan hidup dijadikan bahan pembicaraan dalam berbagai seminar,simposium, dan diskusi di berbagai tempat mulai dari level sederhana sampai ke ruangan konvensi berharga mahal. Namun setelah itu hasilnya hanya cukup sebagai agenda dan bahan berita pada media cetak dan media elektronik yang bertajuk lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang dibicarakan itu eksistensinya tak akan lebih baik kalau tidak diikuti oleh aksi perbaikan lingkungan di lapangan.
Dalam membahas masalah lingkungan hidup tidak salah kalau kita juga meminjam ungkapan internasional yang berbunyi sebagai berikut ”think globally and act locally”. Ungkapan ini berarti bahwa berfikirlah secara luas dan bertindaklah secara lokal. Pengaplikasian ungkapan ini bahwa secara global kita tahu bahwa kondisi lingkungan hidup dunia saat ini juga menjadi pembicaraan orang – orang yang duduk di tingkat antar negara. Sekarang masalah global yang dirasakan adalah seperti pemanasan bumi, masalah kekurangan pangan, kemiskinan, dan berbagai multi krisis lainnya.
”Act locally” atau bertindaklah secara lokal. Saat ini bila kita berpergian di pulau Sumatra ini dan khususnya di Sumatera Barat, mari kita lemparkan pandangan ke depan dan ke alam sekitar. Bila kita arif maka kita akan melihat bahwa alam atau lingkungan hidup tidak lagi seharmonis lingkungan hidup di masa silam atau beberapa puluh tahun yang lalu. Dulu dalam foto dan dari pengalaman masa kecil, bila kita berpergian ke luar kota maka kita masih bisa melihat dan menemui banyak pohon-pohon raksasa yang berdaun rindang, air sungai mengalir dengan warna bening, kicauan burung, langit yang biru dan udara dengan aroma alam yang bebas dari asap kendaraan. Tapi sekarang hal- hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang mahal dan langka untuk ditemui.
Kita bersyukur bahwa pemerintah dan sebagian masyarakat sudah mengelola dan mengatasi kehancuran alam dan mencegah terjadinya ”illegal logging”. Kita masih punya harapan untuk bisa bermimpi untuk memiliki lingkungan hidup dengan alam yang indah pada masa mendatang.
Mengembalikan kualitas alam seperti kualitas alam (lingkungan hidup) seperti pada beberapa puluh tahun yang silam, alam yang hijau dan bersih terhampar ibarat permadani atau ibarat susunan permata zamrud seperti yang didendangkan oleh lagu-lagu lama. Ini tidak mungkin diperoleh secara ”top down” atau menunggu perintah dari atas turun ke bawah semata untuk kembali menata alam ini. Mengembalikan alam yang lestari dan harmoni adalah sangat tepat lewat prosedur ”bottom up”, yaitu kebijakan yang tumbuh dari masyarakat atau dari ”grass root level”. Kebijakan bersifat ”top down” tidak akan bertahan lama kalau orang orang di tingkat ”grass root level” atau rakyat biasa bersikap masa bodoh.
Dalam kenyataan kita temui bahwa banyak orang yang berada di tingkat ”grass root level”, dan orang itu bisa jadi adalah juga kita sendiri, cendrung bersifat masa bodoh atas masalah kebersihan lingkungan hidup. Bila tidak percaya dan untuk membuktikan pernyataan ini, cobalah berdiri di tempat di mana banyak kendaraan lewat dan kita dapat melihat bahwa akan ada tangan imut-imut sampai ke tangan yang dibaluti emas dan intan berlian dengan senang hati melemparkan secuil sampah bungkus makan instant untuk mengotori jalan raya yang asri.
Kebiasaan melemparkan sampah nampaknya sudah menjadi budaya bangsa kita. Atau kalau tidak sudi dengan pernyataan ini, maka kita bisa membuat pernyataan bahwa membuang sampah adalah bagian dari gaya hidup kita sendiri. Kepedulian kita atas topik sampah baru sebatas kepedulian akan masalah kebersihan di lingkungan rumah semata-mata. Memang banyak orang dan kita sendiri yang sudah peduli untuk membersihkan dan merapikan rumah dua kali sehari dan merapikan lingkungan rumah sekali dalam seminggu. Namun sampahnya bagaimana ?
Banyak orang yang suka punya kebiasaan buruk mereka membuat dan menjaga lingkungan rumah sendiri menjadi bersih namun bersikap masa bodoh terhadap kebersihan lingkungan orang. Secara masa bodoh mereka menumpuk sampahnya ke lahan orang lain. Dan bila ada papan peringatan dengan tulisan ”dilarang membuang sampah di sini” maka mereka dengan senang hati menumpuk sampah ke tempat yang dimana mereka suka tanpa memikirkan efek selanjutnya terhadap alam dan terhadap orang lain.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan, seperti pernyataan di atas tadi, bahwa membuang sampah sembarangan sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang desa dan orang kota. Untuk kondisi rumah tangga di desa, masalah membuang sampah dan penumpukan sampah tidak begitu masalah karena di sana mungkin masih ada lahan untuk menguburkan sampah. Namun untuk kebersihan lingkungan hidup seperti di tempat keramaian dan di sepanjang jalan. Sampah seolah-olah sudah menjadi dekorasi sepanjang pinggir jalan raya mengalahkan indahnya dekorasi alam dengan tanaman dan tumbuhan bunga yang warna warni.
Bagaimana dengan lingkungan perkotaan ? Adalah sesuatu yang memalukan untuk dideskripsikan. Kita akan sulit membedakan antara mana pasar dan mana kandang kerbau (maaf) kita sering susah payah kalau berjalan untuk mencari tempat yang akan kita injak. Karena lumpur bercampur kompos, sampah yang membusuk, sudah menjadi aspal di areal pasar. Begitu pula dengan para penghuni wilayah perkotaan, mereka itu, sekali lagi, adalah bisa jadi kita semua sebagai orang-orang yang sudah menjadikan membuang sampah sebagai gaya hidup. Di sana cukup banyak orang yang yang sudi mengotori dan mencemari lingkungan hidup perkotaan. Tidak percaya ? Coba lihat air yang mengalir dalam got dan sungai (di dalam kota), betapa kualitas airnya sudah memberi isyarat bahwa tidak ada lagi kehidupan biota air di dalamnya. Kemudian bagaimana dengan kualitas udara dan pohon-pohonan ?
Kebiasan membuang sampah yang sudah menjadi budaya jelek atau bahagian dari hidup kita, agaknya sulit untuk dikikis habis kalau ajakan untuk mengobah kebiasaan ini hanya ”bersifat ajakan atau cuma sekedar semboyan”. Himbauan, semboyan dan peringatan yang hanya tertulis pada sekeping papan. Seribu kali seminar dan diskusi untuk mengatasi masalah sampah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup akan tidak berarti apa-apa tanpa ada aksi dan contoh atau model dari figur- figur bagi generasi yang lebih muda.
Untuk bisa berubah ke arah yang baik atau ke arah yang kurang baik, maka model atau ”suri teladan” punya peran yang cukup penting. Kalau sekarang kita lihat gaya hidup dan prilaku anak-anak muda sekarang cenderung berubah dan tampak aneh dimata famili dan orangtua. Itu semua karena mereka terinspirasi dan mengikuti model yang mereka lihat- mungkin dalam media elektronik atau cetak dan bisa jadi figur yang mereka pungut langsung di jalanan raya sebagai panutan hidup. Syukur bila bila figur atau model yang mereka pungut tersebut bermental, berakhlak, berpribadi dan berwawasan baik.
Adalah contoh atau model untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan berasal dari pribadi orangtua, kakak, guru, pejabat pemerintah dan lain-lain. Pendek kata figur-figur yang demikian itu adalah kita semua.
Sering pelajaran yang diperoleh di sekolah kenyataannya berbeda dari fakta yang diperlihatkan oleh para figur model lewat prilaku dan gaya hidup mereka. Di sekolah kita diajarkan agar kita ”tidak boleh merokok dan harus hidup disiplin”. Tapi dalam kenyatan orang yang menjadi panutan hidup ini model bagi kehidupan kita melanggar aturan ini. Di sekolah ibu guru dan bapak guru mengajarkan agar kita harus membuang sampah pada tempatnya. Begitu pula dari buku bacaan yang kita baca di rumah agar kita mesti menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Namun fakta, ayah, ibu dan paman kita melempar sampah ke tengah jalan atau ke dalam got seenaknya.
Alangkah bingungnya anak anak yang dididik dan diajar agar bisa mencintai kebersihan dan menjaga lingkungan hidup ini. Namun dalam realita, mereka melihat bahwa begitu banyak orang dewasa, guru, orangtua dan tetangga mereka dan apalagi orang orang yang mereka anggap terdidik tidak berbuat seperti yang mereka baca dan mereka pelajari. Akhirnya mereka juga berbuat seperti hal demikian. Akhirnya adalah lazim bila lingkungan ini menjadi kotor dan tidak rapi karena tangan orang-orang mulai dari usia muda sampai berusia tua, dari orang biasa sampai orang yang menganggap dirinya terdidik dan elit dan dari orang orang desa sampai kepada orang orang kota. Melihat kebersihan di daerah daerah lain di Indonesia dan juga negara tetangga, mereka bisa menjadi negara yang bersih dan asri, ini karena di sana sudah ada sistem dan sistem kebersihan itu sudah berjalan.
Ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk membuat alam atau bumi ini menjadi lestari, bersih dan harmoni. Kebijakan itu bisa bersifat ”top down” dan ”bottom up”. Kota Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Bukittinggi dan sekarang kota Batusangkar juga berbenah diri dan berbagai kota di Sumatera Barat, begitu juga dengan berbagai kota dan kabupaten lain di Indonesia, bergerak menuju kota dan daerah bersih adalah melalui kebijakan ”top down”- pemerintah bersama pemuka masyarakat telah mengumandangkan terompet ”jaga kebersihan dan jangan membuang sampah sembarangan”. Seruan ini kemudian diikuti dengan melakukan aksi melibatkan berbagai unsur dan lapisan masyarakat dan mendorong bagaimana agar sistem kebersihan ini bisa berjalan.
Namun bila diamati secara seksama bahwa sistem kebersihan bisa terganggu oleh sikap dan kebiasaan orang orang- mereka bisa jadi anak sekolah, pejalan kaki, pegawai, buruh, pedagang dan lain-lain- melempar puntung rokok, kulit permen, bungkus makanan dan beraneka macam pembukus terbuat dari plastik, sampah atau material lainnya berjatuhan mengotori bumi. Dan orang lain merasa tidak peduli atas keberdaaan alam yang bersih berubah menjadi ”amburadul” ini. Jalan raya telah menjadi ”tong sampah yang terpanjang dan terbesar di dunia” karena pengguna jalan raya dan pemilik kendaraan bermotor tidak punya perasaan sensitif dan tega untuk mencemari kebersihan ini. Coba lihat sekarang bila anda berpergian. Arahkanlah pandangan dan kita akan menjumpai ribuan sampai jutaan keping sampah bertebaran mengganti indahnya tanaman bunga. Namun apakah masih ada perasaan risih mereka (dan kita) melihat kenyataan ini.
Bila perasaan sensitif sudah hilang atas masalah kebersihan. Maka adalah tugas kita, sebagai figur model, untuk kembali mengembalikan perasaan ”sense of sensitive” dan kita patut mengajak dan memberi contoh masyarakat ”groot grass level” dan juga masyarakat yang berpendidikan tinggi tapi berhati kurang sensitif untuk memiliki rasa peduli kepada lingkungan. Pada mulanya usaha untuk mengembalikan rasa peduli ini bisa bersifat”bottom up”. Dengan meminjam istilah ungkapan seorang Kyai Indonesia, yakni ”memulai usaha pelestarian lingkungan hidup” dan menjaga kebersihan dan ”tidak membuang sampah sembarangan” dari diri sendiri dan sekarang ini juga. Ini dimulai dari rumah tangga, sekolah, pemerintah dengan kantornya, pemilik usaha ekonomi dengan toko-tokonya dan para pemilik kendaraan dan pengguna jalan raya agar memahami bagaimana pentingnya makna kebersihan dan kebersihan alam itu sendiri.
Merenungkan kembali, seperti yang kita nyatakan di atas tadi, bahwa sungai yang dulu berair bening sekarang berubah menjadi sungai dengan tumpukan sampah. Pinggir jalan raya dan taman-taman yang dulu hijau oleh tumbuhan serta rerumputan dan sekarang kotor dan semraut oleh tebaran sampah botol minuman sampai sampah bungkus makanan. Itu semua disebabkan oleh perbuatan orang orang yang datang kesana dan para pengguna jalan. Dimana yang bertebaran itu bersumber dari sampah yang mereka bawa dari rumah atau sampah yang sumbernya dan dari toko-toko untuk kemudian mereka lemparkan ke bumi seenaknya. Maka figur yang amat bertanggung jawab atas penggotoran bumi ini adalah para pemilik toko, pemilik warung, pengguna jalan raya, pengusaha transportasi, orang tua dan guru dan orang-orang yang merasa dirinya sebagai orang terdidik.
Untuk mencegah agar setiap orang tidak membuang sampah seenaknya maka sangat diperlukan seribu sampai sejuta lagi spanduk yang bertuliskan ”jangan buang sampah” agar di pasang dan diukir di berbagai tempat mulai dari rumah, sekolah, kampus, pasar, persimpangan jalan, rumah ibadah, di desa dan di kota sampai ke tempat keramaian dan diikuti oleh perbuatan atau prilaku. Para figur harus melakukan agar bisa menjadi model bagi anak-anak dan generasi yang sedang sibuk menjadi figur atau model dalam usia indentifikasi diri mereka. Kemudian diperlukan pula agar kita menyediakan seribu sampai sejuta tong sampah. Namun jangan biarkan tong sampah itu tergeletak penuh dengan tumpukan sampah untuk jangka waktu lama apalagi bila menumpuk sampai sampai bertahun-tahun tindakan ”top down” amat dibutuhkan. Mimpi kita bisa terwujud untuk menjadikan daerah ini, negara ini agar bebas dari sampah lewat gerakan ”perang melawan sampah secara totalitas” sekarang ini juga dan mulai dari diri sendiri, sekolah sendiri, rumah sendiri, lingkungan sendiri.
Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan
Guru Perlu Kreatif untuk Meredakan Kebosanan
Oleh
Marjohan
marjohanusman@yahoo.com
Cukup banyak guru-guru mengatakan merasa capek atau lesu apabila harus segera masuk kelas untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam pengontrolan absensi, hampir setiap hari ada surat-surat guru yang datang mengabarkan halangan mereka untuk tidak datang ke sekolah.
Pada umumnya alasan serius atau alasan berpura-pura guru dalam suratnya sehingga berhalangan untuk tidak hadir di sekolah karena sakit. Sering alasan lain adalah untuk memohon izin karena ada urusan keluarga yang sangat mendesak. Kalau kita fikirkan siapakah orang di dunia yang luput dari urusan keluarga. Tetapi rasanya tidak logis kalau seorang guru sempat dalam satu bulan membuat alasan sepele dan berhalangan untuk mengajar sebanyak sekian kali. Dan alasan sepele ini cukup banyak dilakukan oleh guru-guru.
Dapat dikatakan, buat sementara, bahwa keabsenan guru-guru dari sekolah alasan, berpura-pura dalam alasan, karena rasa tersandung oleh bosan selama proses belajar mengajar. Kemalasan guru-guru yang lain sering terekspresi dalam bentuk kelesuan setiap kali harus menaikkan kewajiban dalam PBM. Meskipun bel tanda masuk telah berbunyi beberapa menit yang lalu namun masih banyak guru-guru yang ingin menyelesaikan gosip-gosip ringan sesama guru. Malah ada sebagian guru ada yang sengaja hilir-mudik atau berpura kasak-kusuk dalam mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sampai akhirnya selalu terlambat tiba di kelas dan kemudian sengaja pula agak cepat untuk meninggalkan kelas.
Kebosanan dalam PBM disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari guru dan faktor yang berasal dari murid.
Pengabaian kedua faktor ini akan menyebabkan masalah dalam PBM tidak teratasi. Untuk memuluskan PBM maka kedua faktor ini harus dipahami dan diatasi.
Rata-rata guru merasa enggan untuk memasuki kelas-kelas dengan siswa mempunyai daya serap rendah atau bodoh. Gairah mengajar guru untuk mengajar kerap kali terpancing karena di dalam kelas ada beberapa orang siswa yang cukup pintar.
Namun sejak keberadaan kelas unggul di setiap sekolah maka siswa-siswa yang memiliki daya serap tinggi terkonsentrasi ke dalam satu kelas saja. Maka gairah guru untuk melaksanakan PBM hanya lebih tertuju untuk kelas unggul.
Sedangkan untuk kelas-kelas non unggul yang jumlahnya cukup banyak dengan kemampuan siswa rendah terpaksa dimasuki oleh guru dengan rasa lesu dan letih. Tentu tidak semua guru yang menunjukkan gejala yang demikian.
Pada umumnya penyebab melempemnya daya serap siswa di sekolah adalah karena mereka tidak terbiasa dengan budaya membaca sehingga mereka lambat dalam menganalisa.
Kebiasaan dalam belajar cuma menghafal melulu. Dapat diamati bahwa siswa yang telah terbiasa dalam budaya membaca tidak mengalami kesulitan dalam PBM.
Tidak banyak siswa yang terbiasa dengan budaya membaca sehingga akibatnya adalah tidak banyak pula siswa yang memiliki daya serap tinggi. Daya serap yang tinggi selain disebabkan oleh faktor IQ juga ditentukan oleh pelaksanaan agenda kehidupan atau pemanfaatan waktu. Seringkali orang tua yang ikut campur dalam masalah waktu anak dan gemar “mencikaraui” anak akan menjadikan anaknya sebagai siswa yang memiliki daya serap tinggi di sekolah.
Faktor yang datang dari guru cukup bervariasi. Dulu menjadi guru memang serba dihormati dan tentu saja menyenangkan. Tetapi belakangan ini, bahkan terlalu banyak korban perasaan apalagi semenjak remaja banyak mengalami emosi moral.
Karena terus terang saja, siswa-siswanya terdiri dari anak-anak yang kebanyakan tidak diwarisi nilai agama yang mantap oleh orang tua. Ada juga siswa yang merupakan anak-anak pejabat yang kaya-kaya dan anak orang berada sedangkan guru-gurunya miskin.
Faktor yang menyebabkan guru merasa bosan dalam PBM mungkin karena kelelahan. Barangkali ia memiliki jumlah jam yang terlalu banyak.
Walau pada sekolah pengabdiannya hanya mengajar beberapa jam saja, tetapi karena tuntutan hidup ia menjadi guru sukarela pula pada suatu atau dua sekolah lain. Atau bisa jadi karena kelelahan fisik setelah menjadi guru selama puluhan tahun. Sering kita lihat para guru-guru tua yang belum sudi untuk pensiun merasa segan untuk melakukan PBM.
Secara mayoritas guru kelihatan kurang termotivasi untuk meningkatkan kualitas dirinya. Mereka tidak banyak membaca, walaupun sebatas membaca koran dan majalah, sehingga jadilah ilmu pengetahuan mereka sempit dan dangkal. Kebanyakan guru-guru sehabis mengajar ya habis begitu saja. Begitulah kegiatan rutin mereka hari demi hari sampai akhirnya rasa bosan menyelinap ke dalam fikiran.
Ada guru yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas dan cukup hangat dalam bergaul bersama siswa. Namun juga sering mengeluh bosan untuk melakukan PBM sehingga mengajar secara serampangan dengan metode kuno sepanjang hari. Guru yang seperti ini sebaiknya harus segera melakukan introspeksi diri dan kemudian memutuskan apakah karir sebagai guru cocok baginya atau tidak. Tetapi pada umumnya mereka tetap bertahan mengajar dalam kebosanan karena tidak mampu mencari pekerjaan jenis lain yang cocok bagi diri, maklum banyak orang terserang sindrom pegawai negeri dengan alasan jaminan untuk hari tua.
Setiap guru banyak terdengar keluhan guru-guru. Ada yang mengeluhkan badan kurang enak karena sakit kepala, sakit gigi, perut terasa kembung atau badan terasa pegal-pegal dimana ini semua adalah kompensasi dari bentuk rasa bosan. Mereka bosan untuk menunaikan tanggung jawab. Dan penyebab lain dari rasa bosan ini adalah karena umumnya guru-guru kurang kreatif sehingga mereka jarang yang menjadi guru profesional.
Memang secara umum guru-guru terlihat kurang kreatif dan sebagian kecil tentu ada yang kreatif. Rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam mengajar. Mereka masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu dan dalam penguasaan ilmu siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya tanpa melupakan titik dan komanya sekalipun. Penanganan masalah yang ditemui selama PBM pun juga secara tradisional. Kalau murid bersalah musti diberi nasehat dan kebanyakan sistem pemberian nasehat dalam bentuk komunikasi satu arah, dimana yang sering terlihat ketika guru bertutur kata adalah siswa menekur atau tidak boleh menjawab. Tetapi sekarang entah guru-guru banyak yang tidak bertuah dalam bertutur kata karena kesempitan ilmu dan wawasannya atau karena penghargaan murid semakin berkurang karena kurang diwarisi nilai agama oleh orang tua maka sekarang seakan melebar jurang dalam komunikasi.
Kreativitas guru pun terlihat lemah dalam PBM. Presentasi pengajaran sudah terlihat semakin basi karena menggunakan metode itu ke itu juga. Gema hasil mengikuti penataran, apakah dalam bentuk MGMP, sekali sekali dalam bentuk aplikasi. Kecuali yang terlihat adalah setelah guru mengikuti MGMP guru cuma semakin tertib dalam menulis satuan pelajaran tetapi belum bentuk aplikasi.
Diantara guru-guru yang belum lagi mampu memperlihatkan kreativitas, kita juga melihat guru-guru yang kreatif. Meski mengajar banyak, namun karena kreatif mereka tetap tampak ceria dan segar dalam mengajar.
Kreatifitas seseorang, juga guru, sangat ditentukan oleh keleluasaan dan kedalaman pengetahuan dan wawasan. Oleh sebab itu menjadi guru ideal haruslah selalu membiasakan untuk membelajarkan diri. Adalah sangat tepat bila seorang guru selain memahami bidang studinya juga mendalami pengetahuan umum lainnya sebagai khazanah dirinya. Guru yang luas wawasan dan ilmu pengetahuannya akan tidak pernah kehabisan bahan dalam proses belajar mengajar. Kalau sekarang ada ungkapan yang mengatakan bahwa mengajar itu adalah seni, maka mustahillah guru yang kering akan ilmu dan sempit wawasan dapat mengaplikasikannya sebagi seni.
Mengikuti program penyegaran dalam bentuk kegiatan penataran, musyawarah kerja, dan program peningkatan kualitas lain sungguh tepat. Sayang selama ini terlihat kegiatan-kegiatan penyegaran yang ada belum dikemas secara profesional. Dengan arti kata selama mengikuti program penyegaran, guru-guru hanya terlihat secara pasif dan paling kurang bertindak sebagai pendengar abadi. Itulah dampaknya setiap kali seorang guru selesai mengikuti MGMP dan penataran lain, misalnya, seolah-olah tidak membawa perubahan dalam proses belajar mengajar. Terasa seakan-akan apa yang diperoleh selama mengikuti penataran-penataran digambarkan dengan ungkapan “masuk telinga kiri keluar telinga kanan saja.”
Melatih diri untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dalam bentuk berpidato atau berceramah untuk masyarakat dan menyempatkan diri untuk menulis artikel-artikel adalah bentuk lain dari pengembangan kreativitas guru.
Mendalami psikologi remaja sehingga guru dapat memahami meningkatkan kreativitas guru dalam bertindak. Rata-rata guru yang kreatif adalah guru yang kaya akan ide-ide dan menerapkan bentuk nyata. Dalam realita tampak bahwa kreativitas dapat mengatasi rasa bosan.
Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan
SEKOLAH TANPA BELL TEROBOSAN UNTUK
MEMANTAPKAN DISIPLIN WAKTU
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com
Sekarang banyak daerah ingin memajukan pendidikan misalnya seperti Kabupaten Tanah Datar. Kabupaten ini agaknya, adalah Kabupaten terkecil di provinsi Sumatra Barat kaya dengan sejarah budaya dan keindahan alam. Namun karena kurangnya promos] atau karena suasana ekonomi dan informasi keamanan global yang kurang berpihak pada Indonesia maka potensi wisata belum mampu untuk mendatangkan devisa dan ditambah dengan faktor sumber daya alam yang minus maka berakibat kepada PAD (Pendapatan Ash Daerah) yang rendah.
Beruntung bahwa pemerintah dan masyarakat Tanah Datar tidak berfikir statis, tidak patah hati oleh alasan SDA (sumber daya alam) yang minus. Mereka bangkit dan melirik bidang pendidikan untuk mengangkat kwalitas SDM (sumber daya manusia) maka hasilnya adalah sampai tahun 2005, kabupaten ini memiliki dua SMA unggulan yaitu SMA Unggul Padang Panjang dan SMP NEG 5 DAN -SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR Unggul Tanah Datar , sekarang berubah nama menjadi SMP Negeri 5 dan SMA Negeri 3, yang berlokasi di kota Batusangkar .
Bupati Tanah Datar saat itu (tahun 2004) didukung oleh seluruh jajaran pemerintahan sangat antusias untuk menyediakan dana anggaran yang agak lebih untuk melakukan studi banding , menimba ilmu dan pengalaman langsung ke kota dan provinsi lain bahkan sampai ke Negara tetangga seperti Australia, Singapura dan Malaysia. Termasuk menugaskan guru-guru yang telah terseleksi sebagai guru-guru di SMP neg 5 dan SMA negeri 3 Unggul Tanah Datar untuk melakukan studi banding ke beberapa sekolah unggulan nasional di Jakarta di bulan Februari lalu.
Guru sebagai educator, motivator dan sebagai pelayan bagi anak didik adalah hasil observasi dari studi banding yang patut untuk diterapkan di sekolah paling muda ini. Untuk mengubah paradigma guru sebagai sosok serba formal dan sumber ilmu menjadi sosok educator, motivator dan pelayan bag] anak didik maka staf pengajar SMP NEG 5 DAN -SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR unggul Tanah Data.r sepakat untuk melepas seragam pemda yang punya kesan formal dengan pakaian kemeja lengan panjang dan berdasi untuk pria dan busana blazer yang modis untuk guru wanita.
Staf pengajar di sekolah ini tidak lagi menunggu salam dari anak didik sebagaimana disikapi oleh banyak guru, tetapi memberi salam dengan penuh senyum. Staf pengajar di sekolah ini mengimplementasikannya dengan hadir lebih awal di sekolah untuk menyambut anak didik dengan penuh rasa cinta ibarat menunggu anak kandung sendiri .Dengan cara ini maka terbentuklah jembatan hati antara guru dan murid.
Metode yang ditawarkan oleh Negara maju dan dunia barat tampak cenderung untuk peningkatan kwalitas cognitive atau intelektual dalam porsi yang sangat besar. Ujungnya adalah menghasilkan manusia yang individualis, terlalu cenderung untuk berkompetisi dan mudah kesepian. Sehingga bila gagal mereka mudah untuk frustrasi atau bunuh diri. Pembelajaran di sekolah yang paling muda di Sumatra Barat ini menitik beratkan pendidikan yang berimbang antara intelektual, emosi dan spiritual.
Pembiasaan membaca Alquran dan memahami maknanya sebelum belajar di pagi hari, shalat dhuha dan melaksanakan shalat zhuhur berjamaah, membentuk studi Islam adalah beberapa upaya untuk memantapkan kwalitas spiritual. Mengembangkan dan melaksanakan program ekstrakurikuler seperti pramuka, beladiri, kunjungan ke panti asuhan dan lain-lain adalah merupakan beberapa usaha untuk membentuk kematangan emosional.
Sekolah dengan bell adalah suatu hal yang biasa dan sudah lazim ada pada banyak sekolah. Usai dari jam belajar yang panjang apalagi sampai membosankan telah membuat anak didik untuk melakukan eksplorasi untuk menjauhi lingkungan sekolah atau mencari sumber hiburan yang bisa memberikan suasana rileks. Sering bunyi bell untuk berkumpul kembali tidak begitu digubris. Sehingga cukup banyak guru atau murid agak lambat masuk kelas dan cepat meninggalkan kelas. Pada beberapa daerah ada sekolah yang memperoleh julukan ironis sebagai sekolah delapan sebelas. Maksudnya adalah masuk jam delapan pagi dan pulang sekolah jam sebelas, sudah jeias disana bell tanpa fungsi lagi.
Pada tahun itu kepala SMP NEG 5 DAN -SMA NEGERI 3 Batusangkar unggul Tanah Datar, terkesan dengan moto sebuah SMA di Singapura yaitu “school without bell'”. Apakah ini dapat terwujud dan diterapkan di SMP NEG 5 DAN -SMA NEGERI 3 Batusangkar Unggul Tanah Datar ?
“Bersama kita bisa” adalah sebuah moto yang dipopulerkan oleh SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia) ternyata juga cocok untuk sekolah ini. .Setelah melaksanakan pembelajaran selama satu semester dengan moto sekolah tanpa bell ternyata moto ini juga dapat diterapkan di sekolah ini.
Sekolah dengan bell atau sekolah tanpa bell hasilnya akan tetap nonsense kalau dibina oleh guru-guru yang berbeda persepsi. Maka menyatukan persepsi, visi dan misi, adalah syarat mutlak untuk menerapkan moto school without bell.
Sekolah yang berkualitas bagus kalau menerapkan moto school without bell dipastikan akan dapat memantapkan disiplin dalam memanfaatkan waktu dikalangan guru dan anak didik. Namun kwalitas pendidikan (kwalitas sekolah) tentu saja selain terkait oleh disiplin waktu juga ditentukan oleh factor kwalitas anak didik, guru, orangtua murid, masyarakat dan fasilitas penunjang itu sendiri.
Kata unggul adalah sebuah kata yang mudah untuk diucapkan tetapi butuh usaha maksimal dan kontinyu untuk bisa memperoleh dan mempertahhankannya. Kata ini dapat bergabung dengan kata sekolah menjadi sekolah unggul. Selanjutnya kita bisa bertanya tentang bagaimana untuk mewujudkan sekolah unggul tersebut (?).
Unggul atau tidak mutu suatu sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang rumah tempat asal anak-anak didik, kwalitas orangtua, kwalitas guru dan masyarakat dan dana yang tersedia untuk mengimplementasikan program sekolah. Faktor financial sangat penting untuk penggerak semua kegiatan.
Sekolah unggul tentu akan menjadi sekolah idola dan akan diserbu oleh calon calon murid yang tergolong unggul di sekolah yang lama. Keunggulan anak didik ditentukan oleh factor sekolah dan factor rumah, yaitu sekolah yang unggul dan rumah yang unggul pula.Kwalitas mereka ditentukan oleh budaya dan suasana belajar di rumah dan di sekolah. Beberapa faktor pendukung kwalitas mereka adalah seperti tingkat sosial ekonomi dan SDM orang tua, pengaruh teman bermain dan faktor hiburan . Sedangkan faktor pendukung di sekolah adalah seperti tingkat SDM dan kehangatan pribadi guru, fasilitas belajar dan budaya serta iklim belajar di sekolah. Faktor-faktor ini agaknya sudah hadir dalam konsep dan pelaksanaan pembelajaran di SMP NEG 5 DAN -SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR Unggul Tanah Datar ini.
Sekolah unggul tentu saja sangat menghargai waktu dan akan memanfaatkan waktu ibarat memanfaatkan uang. Tentu saja sebagian besar waktu digunakan untuk proses belajar. Guru di sekolah unggul memulai dan mengakhiri pembelajaran betul-betul tepat waktu. Sekolah unggul tentu harus berada dibawah pimpinan kepala sekolah yang unggul pu1a. Karena la akan menentukan jatuh dan bangunnya kwalitas sekolah tersebut. Kepala sekolah yang asal-asalan cerldrung untuk menghancurkan budaya dan iklim belajar sekolah. Sedangkan kepala sekolah unggul selalu komit dengan visi dan misi untuk mengangkat dan melestarikan kwalitas sekolahnya.
Sekolah unggul tentu harus memiliki standar indikator seperti yang digambarkan oleh Sergio Vanio (dalam Salfen Hasri;2004). Yaitu kwalitas anak didik harus dievaluasi secara objektif dan skor penilaiannya harus selalu meningkat . Anak didik di sekolah unggul harus sangat antusias dalam belajar. Guru pun harus sangat konsekwen dalam memberikan pekerjaan rumah (PR) dan menilai PR itu dengan konsisten. Sekolah harus memiliki program dan jadwal ekstrakurikuler serta masyarakat dan orangtua ikut peduli untuk perkembangan dan kemajuan sekolah tersebut.
Salfen Hasri (2004; 20) mendeskripsikan tentang kepala sekolah yang unggul atau yang efektif. Antara lain ; punya visi dan misi dan merealisasikanya bersama guru, staff, dan anak didik . la mempunyai harapan yang tinggi terhadap prestasi , selalu mengamati kwalitas guru dan anak didik serta mendorong mereka untuk memanfaatkan waktu . Disamping itu ia juga selatu memonitor prestasi individu guru, staff, siswa dan sekolah. Agaknya resep keunggulan yang diutarakan oleh Sergio Vanio dan Salfen Hasri telah terkonsep dan diimplementasikan di SMP NEG 5 DAN -SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR Unggul Tanah Datar. Sebuah sekolah yang paling muda di Sumatra Barat yang menerapkan moto “School without bell”.Sekolah tanpa bell dengan harapan dapat mendongkrak isiplin waktu dan kwalitas pendidikan,’
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR PERLU DITINGKATKAN
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar,
Program Layanan Unggulan Kab. Tanah Datar
Mhs. Pascasarjana UNP
marjohanusman@yahoo.com
Kita tidak perlu merasa kaget apabila mendengar pengakuan seorang mahasiswa yang baru saja kuliah pada sebuah perguruan tinggi negeri atau swasta tetapi masih merasa ragu-ragu untuk menuntut ilmu. Cukup banyak contoh-contoh seperti itu di seputar kita.
Agak memprihatinkan, remaja-remaja sekarang kurang menenggang perasaan atau kesulitan orangtua. Mereka lebih memperhatikan kebutuhan dan kesenangan diri. Ada seorang mahasiswa baru, sebagai contoh, menuntut ilmu pada jurusan teknik di sebuah perguruan tinggi swasta. Walaupun orangtuanya telah mengeluarkan dana hampir 5 juta rupiah sejak dari mengikuti kegiatan bimbingan belajar sampai dengan membayar SPP semester pertama tetapi ia belum bisa merasakan kesulitan orangtua. Tentu saja ketampanan wajahnya tidak dapat menutupi keletihan fisik dan jiwa orangtua dalam memikirkannya.
Kemandirian dalam belajar agaknya belum dimiliki oleh banyak pelajar. Ada guru yang mengatakan bahwa pelajaran sekarang banyak yang bersifat seperti ‘paku’, ia baru bergerak kalau dipukul dengan martil. Pelajar sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersifat serba pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran saja misalnya, kalau tidak disuruh atau diperintahkan oleh guru maka buku-buku tersebut akan tetap tidak tersentuh dan akan selalu utuh karena tidak dibaca.
Aktivitas guru-guru pada waktu senggang mereka, yang mana lebih gemar mengambil topik-topik ringan dan mengambang dalam berdialog sementara tugas-tugas murid banyak yang tidak diperiksa dan persiapan mengajar serba belum beres adalah gambaran ketidakmandirian kalangan pendidik dalam menjalankan profesi mereka. Tidak hanya guru-guru tetapi malah pegawai-pegawai lainnya, barangkali juga menunjukkan adanya gejala ketidakmandirian dalam belajar. Prilaku mereka seperti suka berpikir mengambang, melakukan debat kusir dan berkelakar hampir sepanjang waktu, mereka baru melakukan tugas dengan baik kalu masih dikontrol oleh pihak atasan saban waktu adalah ciri-ciri dari ketidakmandirian dalam belajar meski secara biologis mereka sudah sangat dewasa.
Cukup banyak penulis lain Cuma membahas kegagalan pendidikan atau membahas dan tema tentang ketidakmandirian siswa dalam belajar, lebih mempersalahkan faktor sekolah. Mereka lupa untuk membahas secara rinci tentang faktor lingkungan rumah.
Lingkungan rumah cukup dominan untuk menentukan atas kemandirian dalam belajar. Faktor tingkat pendidikan orang tua yang cukup rendah dan sikap suka menyerahkan urusan pendidikan anak kepada sekolah semata adalah faktor penyebab di samping faktor lain. Kealpaan orang tua untuk mengajar anak dalam memanfaatkan waktu telah meyebabkan anak terbiasa berkeliaran, hidup tidak teratur sejak bangun tidur sampai kembali memejamkan mata pada malam berikutnya.
Pelajar-pelajar yang gemar berkeliaran pada jam belajar, meski mereka bersekolah pada kelas atau sekolah favorit, dan hanya untuk pergi mengobrol dengan teman-teman adalah produk lingkungan rumah, atau orang tua yang tidak acuh atas masalah pendidikan sementara itu mereka mengabaikan pelajaran dan keberadaan buku-buku yang ada dalam tas mereka atau pada perpusatan. Gambaran sekolah sekarang tidak lagi mewarnai sebagai tempat arena untuk menuntut ilmu, dimana para pelajar asyik menekuni aneka buku ilmu pengetahuan, tetapi citra atau gambaran sekolah sekarang adalah sekedar huru-hara, atau pergi ke sekolah hanya sebagai suatu mode saja.
Dari tiga aspek yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif yang harus dikembangkan terhadap pelajar melalui PBM dan kegiatan ekstra kurikuler terlihat kurang berimbang. Dalam kegiatan ekstra kurikuler saja, kegiatan pengembangan afektif atau pembinaan sikap cukup kurang karena wadah-wadah penyaluran tidak ada. Dan wajar saja kalau sikap pelajar sekarang cenderung makin lama makin beringas, karena di rumah mereka tidak diwarisi dengan sikap dan nilai-nilai moral dan agama yang mantap kecuali hanya segelintir keluarga saja yang memperhatikannya. Dan sekolah lebih memperhatikan pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik yaitu berupa pemberian ilmu pengetahuan dan pelaksanaan latihan keterampilan dan olahraga.
Kerap kali siswa yang telah belajar di tingkat SLTA sekalipun dalam mengambil azas manfaat masih bersikap sebagai anak kecil. Mereka sering bertanya kepada bapak dan ibu guru ketika PBM sedang berlangsung, tentang pelajaran yang ditulis pada papan tulis apakah untuk disalin di buku atau tidak. Padahal kalau terasa ada manfaatnya mereka harus menyalinnya. Begitu pula dalam mengomentari keberadaan buku-buku pelajaran mereka yang jarang mereka sentuh. Mereka menjawab bahwa kalau guru tidak menyuruh untuk mengerjakan tugas-tugas rumah atau untuk membacanya ya buat apa dibaca. Kalau begitu terlihat kecenderungan bahwa konsep mereka belajar yaitu baru berbuat kalau baru disuruh. Jadi kalau mereka tidak disuruh maka tentu agak terhentilah proses peningkatan pengembangan pribadi mereka.
Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar akan berlanjut terus. Andai kata mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka sering memilih jurusan yang salah dan kemudian memendam rasa sesal. Sering mereka mengambil jurusan hanya sekedar mode saja. Padahal sudah nyata sikap belajar mereka sangat santai maka mereka tetap memilih jurusan yang mana bagi pribadinya akan menemui banyak kesulitan dalam penyelesaian. Atau mereka memilih jurusan pada perguruan tinggi karena pengaruh atau setengah paksaan dari berbagai pihak. Efeknya adalah bertambah membengkak angka ‘drop out’ mahasiswa di perguruan tinggi. Meskipun disana ada dosen sebagai ‘penasehat akademis’ tetapi seringkali belum melakukan peranan sebagaimana idealnya.
Dan andai kata mereka yang tidak memiliki kemandirian dalam belajar, tidak beruntung untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, tentu akan terjun ke tengah masyarakat untuk menambah angka pengangguran yang telah bengkak juga. Untuk kesudahannya adalah mereka sering menjadi parasit dalam sosial. Pergi merantau untuk pengalaman hidup dan mengadu untung, akan tidak berani dan kalau tetap tinggal di kampung akan tetap bersandar, atau malah juga mengganggu pihak sosial lainnya. Kemudian apabila mereka berumah tangga, tentu juga akan mengganggu pihak wanita, paling kurang keberadaannya adalah sebagai beban bagi mertua. Kecuali kalau mereka telah berani untuk mengambil keputusan dan melakukan perobahan sikap hidup secara total.
Untuk zaman sekarang sudah mulai cukup banyak pria yang bertekuk lutut kepada kaum wanita. Penyebabnya adalah sekarang banyak wanita yang sukses dalam menuntut ilmu dan memperoleh pekerjaan yang mapan sebagai tempat untuk mengembangkan kepribadian mereka. Dan cukup banyak pria yang tidak mandiri menikah dengan wanita mandiri dimana pada akhirnya keberadaan mereka adalah bukan sebagai pemimpin bagi wanita tetapi adalah sebagai pembawa bencana.
Ketidakmandirian pelajar, guru-guru dan siapa saja dalam proses pematangan diri adalah merupakan batu penyandung untuk mencapai kemantapan sumber daya manusia. Akan percuma kata-kata SDM tetap diserukan oleh pemerintah lewat berbagai media massa kalau setiap individu, warga negara tidak melakukan usaha kemandirian dalam belajar untuk menambah ilmu dan keterampilan-keterampilan lain.
Ketidakmandirian belajar seorang mahasiswa adalah warisan dari cara belajar ketika masih berada di tingkat SLTA. Begitu pula, ketidakmandirian siswa-siswa di tingkat SLTA adalah produk dari cara belajar ketika masih belajar di tingkat sekolah-sekolah yang lebih rendah dan seterusnya. Agaknya sampai saat sekarang memang masih banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah yang lebih cenderung bersifat ‘instruction’ atau mengajar daripada bersifat ‘education’ atau mendidik. Penyebabnya adalah bisa jadi karena guru hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi semata dan tidak pula begitu mendalam. Disamping itu pengabdian guru belum sepenuhnya bersifat ideal sebagai guru. Ada kalanya pengabdian guru bersifat pamrih atau berdasarkan nilai ekonomis dimana mereka baru sudi untuk berbuat kalau ada imbalannya.
Untuk masa-masa sekarang agaknya kemandirian dalam belajar perlu untuk ditingkatkan. Ada banyak pihak perlu untuk melakukan introspeksi diri dan langsung bertindak. Bukan hanya melakukan introspeksi dan kemudian berteori. Sebab teori tanpa tindakan atau aplikasi tentu akan tetap sia-sia hasilnya.
Taman Kanak-kanak sekarang, sebagian kecil telah ada mendorong usaha anak didiknya untuk melakukan kemandirian dalam belajar. Dulu Taman Kanak-kanak lebih terfokus untuk tempat belajar, menyanyi, menari dan kemudian dilupakan. Sekarang TK telah memiliki kurikulum yang lebih dewasa dan tidak lagi hanya sebagai teori. Kita merasa salut melihat telah ada sekolah yang mewajibkan anak-anak didiknya untuk berlangganan majalah dan memesankan kepada orang tua di rumah untuk ikut serta membimbing anak. Usaha-usaha positif dan lebih serius sungguh kita harapkan terhadap tingkatan sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Disamping menyediakan fasilitas belajar bagi anak-anak kita juga menginginkan orang tua ikut mengontrol pemanfaatan waktu yang baik. Kemandirian dalam belajar agaknya perlu ditingkatkan untuk menyongsong masa depan.
(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar. Program Layanan Keunggulan.
Kesehatan Jiwa Syarat Bagi Guru Untuk Mengajar
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com
Kondisi fikiran menentukan kondisi jiwa. Sebetulnya pekerjaan otak, fikiran adalah juga kerja jiwa. Pekerjaan jiwa seperti menyayangi, mencintai, membenci dilakukan oleh fikiran dengan mengaktifkan suasana hati atau perasaan. Maka untuk mendapatkan kesehatan jiwa. Mustafa Fahmi dalam bukunya “Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat”, terjemahan Zakiah Daradjat mengatakan bahwa kita harus dapat menyesuaikan diri kepada lingkungan. Dan lingkungan itu adalah seperti lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan manusia sendiri.
Disamping itu kita juga harus dapat mengendalikan diri yang patut dan yang tidak patut. Maka dalam hal ini kita perlu belajar untuk mencari ilmu pengetahuan. Memperoleh pengetahuan dapat dilakukan melalui bacaan yang dewasa ini mudah diperoleh dimana saja. Namun sekarang banyak orang tidak memanfaatkan kesempatan balk untuk memperoleh den menguasai ilmu paling kurang untuk keperluan diri terlebih dahulu.
Dalam hidup ini kita memiliki banyak kebutuhan, begitu pula dengan kebutuhan yang bersifat psikis yang kerap disebut dengan kebutuhan pribadi. Jiwa kita akan sehat kalau kebutuhan pribadi yang kita sebut juga dengan kebutuhan Psikososial dapat kita penuhi. Kebutuhan pribadi yang terpenting adalah seperti rasa kasih sayang, rasa sukses, kebebasan dan kebutuhan akan pengalaman dan kebutuhan akan rasa kekeluargaan.
Kita dapat menemukan banyak anak-anak yang lincah dan ceria. Kasih sayang yang mereka terima dari orang tua dan anggota keluarga membuat suasana jiwa mereka menjadi riang gembira. Jauh berbeda dengan anak-anak yang tinggal di panti-panti asuhan dan anak-anak dari keluarga berantakan. Mereka sering hidup gelisah, banyak bersedih dengan tetapan mata kosong. Sebetulnya yang mereka harapkan supaya hidup gembira adalah kasih sayang.
Untuk mendapatkan generasi-generasi yang sehat jiwanya maka kebutuhan-kebutuhan ini seharusnya sudah dibiasakan sejak usia bayi. Begitu pula terhadap anak-anak didik di sekolah, ibu dan bapak guru harus mengenal kebutuhan-kebutuhan ini dan kemudian memberikannya kepada anak-anak didik. Setelah itu kita harus ingat bahwa kebutuhan-kebutuhan psikososial ini akan bertambah dengan meningkatnya usia individu.
Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa jika suasana lingkungan dan sosial tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka seseorang akan berusaha mencari jalan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Mungkin saja jalan yang tidak wajar, dengan demikian terganggulah proses penyesuaian diri. Kita sering melihat banyak pemuda ngebut di jalanan. Ini bisa jadi karena mereka ingin dianggap hebat, barangkali di rumah kurang memperoleh kasih karena orang tua sibuk dengan diri sendiri.
Dalam penyesuaian diri, bila seseorang bersikap lincah maka ia akan memperoleh kemudahan dalam bergaul. Seseorang dalam penyesuaian diri ada yang tetap mempertahankan kepribadiannya. Dan orang yang beginilah orang yang memiliki kepribadian yang utuh. Sebaliknya ada pula orang melepaskan kepribadian. Tentu saja ini kurang baik dan malah dapat mendatangkan kegelisahan jiwa. Orang yang tidak dapat mempertahankan kepribadiannya dia akan sulit atau akan memperoleh masalah apabila ia pulang kampung, kalau ia seorang perantau, sebab tingkah lakunya, tentu tampak berbeda dari keadaan semula. Ini sering dalam art konteks negatif.
Untuk itu kita harus bersikap wajar-wajar saja. Sebab tidak diragukan lagi bahwa orang yang wajar dalam kehidupannya, maka dalam masyarakat ia tampak lebih tenang dan kurang dihadapkan kepada persoalan sosial. Ini biasanya dapat dirasakan oleh pembimbing sosial, pemuka agama dan profesi yang berkaitan dengan sosial lainnya. Sebab tingkat pengenalan mereka terhadap lingkungan menyebabkan mereka lebih mengerti. Di sini tidak kita ragukan lagi bahwa orang yang wajar-wajar saja dalam kehidupan akan memperoleh ketenangan dan kesehatan jiwa. Untuk itu, sehatkan dulu jiwamu, kawan. Percayalah, kau dalam gelisah.
Kalau begitu ketenangan dan kesehatan jiwa bukan kita peroleh dari kejeniusan, karena ia tidak menjamin dalam kehidupan jiwa dan kehidupan sosial. Dan bagi guru di sekolah kesehatan jiwa adalaha syarat mutlak untuk bisa mengajar secara lebih mantap Okay !
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com
Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
MEMILIH SEKOLAH PERLU KEARIFAN
Oleh: Marjohan
marjohanusman@yahoo.com
Sudah menjadi pendapat umum bahwa sekolah yang berlokasi di kota kualitasnya lebih bagus dari pada sekolah yang berlokasi di desa. Sehingga fenomena yang terlihat setiap awal tahun pelajaran adalah adanya mobilisasi remaja/pelajar ke kota untuk mencari sekolah yang mereka idamkan. Mereka yang memiliki nilai ijazah tinggi dari sekolah sebelumnya, tentu saja boleh merasa bangga dan berharap agar mimpi untuk belajar di sekolah yang bermutu itu bukan di desa. Mencari sekolah berkualitas merupakan faktor yang mendorong untuk ikut melakukan urbanisasi. Masalah juga ada siswa yang memiliki nilai rendah ikut-ikutan melakukan urbanisasi pendidikan.
Berbicara tentang sebuah sekolah, kualitasnya tentu saja ditentukan oleh berbagai aktor seperti kondisi input dan proses yang ada dalam suatu sekolah dan faktor lingkungan, kualitas guru serta sarana pendukung untuk memperoleh output atau lulusan yang berkualitas. Setiap anak didik tentu punya hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan harapan agar memiliki ilmu, keterampilan, wawasan dan pergaulan yang lebih luas.
Setiap anak didik perlu untuk cerdas dalam memilih sekolah. Disamping itu orang tua perlu untuk memberi pertimbangan yang masuk akal. Orang tua harus selalu bersikap arif terhadap anaknya. Dalam kenyataan banyak ditemui orang tua dan yang kurang arif (tidak punya pengalaman) dalam memilih sekolah. Tiap awal tahun ajaran mereka ikut meramaikan arus mobilisasi untuk mencari sekolah di perkotaan. Atau bagi mereka yang berdomisili di perkotaan untuk mencari sekolah yang jauh dari rumah dengan kata lain jauh dari orang tua, sehingga mereka harus mencari tempat kos atau rumah kontrakan. Untuk selanjutnya tinggal bersama teman-teman dan lingkungan yang belum tentu berkualitas baik. Padahal sebetulnya mereka bisa belajar di sekolah yang terdekat agar bisa tetap berada di bawah pengawasan dan kasih sayang orang tua. Kita tahu bahwa anak-anak usia SD sampai SMA seharusnya masih berada dalam pengawasan orang tua dengan suasana rumah yang harmonis penuh dengan berbagai kegiatan agar dapat tumbuh cerdas dan sehat secara intelektual, emosional dan spiritual. Dari pengalaman dapat dijumpai banyak anak-anak yang ketika masih kecil, di SD dan SMP, tergolong dalam kategori pintar dan berbudi pekerti terpuji tetapi setelah berpisah dari orang tua, karena sekolah jauh, kurang bisa mengontrol diri dan memilih pergaulan yang tepat. Sehingga mereka telah membuat orang tua menjadi resah, karena jangankan memperoleh nilai akademis baik malah memperoleh kualitas dan reputasi yang jelek.
Kadang-kadang orang tua latah dengan kata “demokrasi” dan kata “pendidikan” tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat kedua kata tersebut. Ada pengalaman yang terjadi pada seorang orang tua dan anak laki-lakinya yang baru saja tamat SD, tergolong cerdas termasuk dalam berkomunikasi. Dalam usia yang tergolong relatif masih kecil tapi atas nama mencari pendidikan berkualitas di kota yang jarak rumah dengan sekolah itu cukup memakan waktu. Tentu saja orang tua tidak bisa memantau perkembangan anak secara berkala tiap hari atau tiap minggu. Pada mulanya hanya bisa memantau anak sekali dua minggu, menjadi sekali sebulan dan terus molor dan akhirnya sekali enam bulan. Tapi catatan yang diberikan pihak sekolah berbeda dengan catatan anak yang banyak membela diri. Pihak sekolah menyodorkan fakta data bahwa anak sudah menjadi orang pemalas dan tidak disiplin. Kalau begitu idealnya sejak awal orang tua ini harus punya pendapat dan pandangan yang mantap tentang hakekat mendidik dan membesarkan anak dan dunia yang luas agar tidak menyesal di belakang hari.
Banyak orang tua berfikir dan bertanya tentang kapan sebaiknya sorang anak boleh bersekolah jauh dari orang tua (?). Jawabannya sangat relatif sesuai dengan perspektif masing-masing.
Keberhasilan pendidikan seorang anak tidak ditentukan oleh jauh atau dekatnya lokasi sebuah sekolah. Bila kualitas sekolah dekat rumah lumayan bagus buat apa harus mencari sekolah yang jauh (?).
Sangat wajar orang tua, untuk memahami sekolah untuk anaknya dan menghindari sekolah dengan budaya belajar jelek, suasana belajar santai, guru-guru tidak disiplin dan anak didik dengan kontrol diri dan motivasi belajar rendah. Bila suasana belajar di sekolah terdekat seperti demikian maka sangat patut orang tua mencarikan sekolah dan pemondokan anak yang cukup terjamin baik. Namun orang tua perlu tahu bahwa apakah anak sudah cukup matang untuk mandiri dan berpisah dari orang tua?
Suasana pemondokan di luar sekolah dan dalam komplek sekolah bagi sekolah khusus ikut menentukan bagaimana output anak di kemudian hari. Sebelum melepas anak untuk hidup mandiri di pemondokan, baiknya orang tua melakukan “Cek dan Ricek” atau melakukan observasi langsung ke tempatnya. Jangan minta pendapat orang agar bebas dari kesan pembohongan. Sekolah dengan pemondokan yang didampingi oleh tenaga pembina yang bebas dari sikap otoriter tapi disiplin adalah sungguh sangat bagus. Pemondokan tanpa ada tenaga pengontrol atau pembina, maka disana akan muncul bibit penyimpangan dalam usia dini seperti pencurian kecil-kecilan, penyemaian hukum rimba dimana yang berkuasa adalah anak yang berotot kekar, dan tak terkecuali juga terjadi aktifitas seksual iseng-iseng dengan kawan sejenis atau beda jenis kelamin (?), karena usia remaja adalah usia seksual sekunder dengan ciri-ciri dorongan libido yang cukup tinggi, perlu penyaluran positif seperti olahraga, seni dan lain-lain. Kisah-kisah demikian dapat diperoleh langsung dari anak-anak muda yang pernah tinggal di asrama atau pemondokan dengan kontrol yang rapuh.
Sekolah dengan pemondokan yang terjamin kualitasnya, dalam komplek sekolah atau di rumah-rumah penduduk seputar sekolah, yakni dengan hadirnya orang dewasa pengganti figur orang tua sendiri yang hangat pribadinya dan tahu dengan disiplin adalah harapan orang tua untuk menempatkan anaknya untuk menuntut ilmu. Tetapi pemondokan atau asrama sekolah yang dikelola asal-asalan saja maka disana akan terjadi pelabuhan berbagai watak yang hasilnya adalah cenderung jelek. Anak dari keluarga baik-baik tetapi lemah kontrol diri setelah bergabung dengan anak-anak yang berwatak amburadul akan memperlihatkan karakter kompensasi untuk dapat diterima menjadi anggota genk dengan membuat tato, tindik telinga, rambut funk-rock, celana metal dan segudang aksesoris lain yang menghiasi tubuh mereka. Sementara itu tanggung jawab untuk belajar dikesampingkan.
Kalau kualitas pribadi anak akan cenderung jelek gara-gara sekolah jauh dari rumah lebih baik orang tua membuat alternatif terakhir yaitu daripada sekolah jauh dari rumah, tinggal di pemondokan atau rumah kos yang kualitasnya centang prenang, lebih baik sekolah dekat orang tua sebagai pengontrolnya. Tidak ada salahnya bersekolah di pedesaan karena keberhasilan seorang tidak ditentukan oleh faktor desa atau kota tapi ditentukan oleh pribadinya sendiri.
Apa yang musti dilakukan oleh orang tua agar bisa memiliki anak yang berkualitas adalah dengan menanamkan budaya belajar mandiri, belajar secara otodidak dan mengembangkan anak agar memiliki kecerdasan berganda. Agus Nggermanto (dalam buku Quantum Quotient, cara melejitkan IQ, EQ dan SQ:2003) menjabarkan kecerdasan berganda seperti : cerdas matematika, cerdas berbahasa, cerdas intrapersonal dan interpersonal, cerdas dengan seni dan gerak dan cerdas dengan spiritual. Untuk melejitkan kecerdasan berganda adalah dengan mengkondisikan otak, buku-buku, psikomotorik, rasa cinta atau emosi positif, spiritual dalam bentuk mengamalkan ajaran agama dan bersikap selalu aktif dan kreatif.
Beberapa usaha untuk mencapai hal-hal diatas adalah seperti menggalakan kebiasaan membaca dan diskusi keluarga agar anak menjadi mantap dalam melakukan komunikasi. Usaha lain adalah membiasakan anak untuk melakukan penjelajahan dalam rangka menambah wawasan anak, melakukan rekreasi edukasional seperti pergi ke toko buku, tempat bermain anak, pabrik, tempat-tempat profesi lain agar anak memiliki segudang cita-cita dan tak kalah pentingnya adalah menyediakan sarana dan prasaran serta memberi contoh langsung pada keluarga.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
MENCIPTAKAN PENDIDIKAN EFEKTIF
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com
Kata efektif adalah sebuah kata yang mudah untuk diucapkan namun butuh usaha maksimum dan kontinyu untuk memperolehnya. Kata ini dapat bergabung dengan kata pendidikan menjadi “pendidikan yang efektif” dan selanjutnya kita dapat bertanya sudah efektifkah pendidikan kita atau hanya sekedar asal-asalan saja?
Dari tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal, informal dan non formal, maka pendidikan formal paling banyak disorot mulai dari mutu sampai dengan keefektifannya. Pendidikan formal yang mencakupi kurikulum, sarana, dan prasarananya dan lingkungan masyarakat yang ikut mempengaruhinya.
Apakah suatu pendidikan yang diselenggarakan sejak dari bangku SD sampai perguruan tinggi atau paling kurang sampai untuk tingkat SLTA sudah efektif atau belum. Keefektifan sebuah sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang rumah tangga tempat asal anak-anak didik dan keadaan masyarakat sekeliling sekolah. Rumah tangga dan masyarakat yang memiliki SDM yang sangat memadai dan kondisi keuangan yang cukup mapan akan membantu terselenggaranya suatu sekolah yang efektif.
Sekolah yang efektif tentu akan menjadi sekolah idola dan akan diserbu oleh banyak calon anak didik setiap awal tahun pelajaran dimulai. Anak yang efektif sangat ditentukan oleh faktor rumah dan faktor sekolah yaitu rumah yang efektif dan sekolah yang efektif pula.
Kualitas seorang anak didik sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh budaya dan suasana belajar di rumah dan di sekolah. Beberapa faktor pendukung kualitas anak di rumah adalah seperti tingkat sosial ekonomi dan Sumber Daya Manusia (SDM) orang tua serta pengaruh teman bermain dan hiburan. Sedangkan faktor pendukung di lingkungan sekolah adalah seperti tingkat SDM dan kehangatan pribadi guru, fasilitas penunjang, sarana belajar dan pengaruh budaya dan iklim belajar di sekolah itu sendiri.
Lebih dari separoh waktu kehidupan anak dihabiskan di rumah. Famili dan orang tua mempunyai peranan sangat besar dalam menentukan pribadi anak. Kualitas mereka sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan (SDM) orang tua dalam mendidik dan menumbuhkembangkan konsep belajar dalam keluarga. Kemampuan ekonomi orang tua punya peran dalam menyediakan fasilitas belajar. Ada anak dengan tingkat pendidikan orang tua rendah, biasa berhasil dalam belajar karena orang tua cukup tebal isi kantongnya untuk membiayai saran belajar. Ada lagi sebagian anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi kurang mampu, tetapi juga berhasil dalam belajar, karena orang tuanya sendiri kaya dengan wawasan SDM. Yang sangat beruntung adalah anak yang memiliki orang tua dengan SDM tinggi, kantong tebal dan teman-teman bermain memberikan pengaruh positif dalam belajar.
Pendidikan yang efektif tentu akan didukung oleh komponen-komponen yang juga efektif. Mereka adalah seperti sekolah efektif, kepala sekolah efektif, guru efektif dan murid yang efektif.
Sekolah yang efektif tentu mempunyai standar indikator seperti yang digambarkan oleh Sergio Vanio. Ia mengatakan bahwa kalau sekolah efektif murid-muridnya dinilai setiap tahun oleh pihak yang independen maka skor penilaiannya selalu meningkat. Murid-murid di sekolah itu sangat antusias dalam belajar dan ini tercermin dalam peningkatan prosentase kehadirannya. Guru sangat konsekwen dalam memberikan pekerjaan rumah (PR) dan menilai PR itu dengan konsisten. Sekolah memiliki program dan jadwal ekstrakurikuler di sekolah itu terdapat partisipasi orang tua dan masyarakat untuk peduli terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah tersebut.
Sekolah efektif sangat menghargai waktu dan akan memanfaatkannya ibarat memanfaatkan uang. Tentu saja sebagian besar waktu itu digunakan untuk belajar. Guru-guru di sekolah yang efektif mampu melaksanakan proses belajar mengajar yang bebas dari gangguan dan memberikan pekerjaan rumah dengan cara bertanggung jawab. Sekolah ini mulai dan mengakhiri kegiatan belajar betul-betul tepat waktu. Sementara itu dalam sekolah yang tidak efektif, guru-guru cenderung tidak mendukung pemahaman tujuan sekolah.
Sekolah yang efektif tentu berada di belakang pimpinan kepala sekolah yang efektif pula. Seorang kepala sekolah akan menentukan jatuh atau bangunnya kualitas suatu sekolah. Kepala sekolah asal-asalan cenderung untuk menghancurkan budaya dan iklim belajar sekolah. Sedangkan kepala sekolah yang efektif selalu komit dengan misi dan visi yang mengangkat dan melestarikan kualitas sekolahnya.
Salfen Hasri (2004;20) mendeskripsikan tentang kepala sekolah yang efektif, yang antara lain sebagai berikut: punya visi dan merealisasikannya bersama guru dan staf. Ia mempunyai harapan yang tinggi pada prestasi, selalu mengamati kualitas guru dan kualitas anak didik serta mendorong pemanfaatan waktu. Disamping itu seorang kepala sekolah yang efektif selalu memonitor prestasi individu guru, staff, siswa dan sekolah.
Kepala sekolah yang efektif sangat sadar bahwa keberadaan siswa adalah titik pokok dalam dunia pendidikan (di sekolah), maka ia sangat memonitor perkembangan siswa yang tercermin dalam peningkatan kualitas nilai tes yang bersih dari rekayasa dan manipulasi data. Ia melowongkan waktu (punya jadwal) untuk mengamati guru dalam kelas dan senantiasa berdialog tentang problem dan perbaikan pengajaran/kelas.
Kepala sekolah menjadi efektif karena ia mampu menjadi pemimpin yang efektif. Me Clure (dalam Salfen Hasri, 2004) mengatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu dalam berbagi tugas bersama siapa yang memiliki kompetensi untuk pekerjaan khusus.
Seorang pemimpin yang efektif harus mampu untuk melaksanakan “problem solving” dan “decision making”, memiliki bakat memimpin serta mampu untuk bersosial yaitu untuk bekerja sama. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah sedikit sekali yang menghabiskan waktu untuk urusan kurikulum dan pengajaran.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
Siswa perlu tahu bahwa Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju
(Berlatih Jangan 1 Kali Lipat Tapi 10 Kali Lipat atau lebih )
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com
Semua orang tentu sudah tahu bahwa masing-masing pribadi kita itu adalah unik. Kita menjadi unik kerena later belakang dan pengalaman hidup yang kita lalui juga berbeda. Salah satu sifat kita yang unik adalah tentang bakat.
Memang setiap orang memiliki bakat yang berbeda dan bakat-bakat yang ada pada did kita itu masih terpendam. Bakat yang terpendam ini kalau dapat kita gali akan membuat kita sendiri terheran-heran. Lebih-lebih setelah melihat kemampuan yang tersimpan dalam diri kita itu.
Setiap orang bisa memperkembangkan bakat-bakat dan kecakapan- kecakapan sendiri asal ia ada mempunyai cukup hasrat untuk melakukannya. Ada seorang pelajar wanita, dulu ketika masih menjadi pelajar SD dan SMP hampir selalu diabaikan oleh teman-teman. Itu semua karena pribadi wanita itu dingin dan tidak menarik. Namun setelah berada di bangku SMU, lebih-lebih setelah duduk pada bangku kelas dua dam kelas tiga, ia tampak begitu dinamis dan menjadi kesenangan teman-teman. Malah setelah lulus SMU dan beberapa bulan kemudian ado kabar tentang dirinya bahwa us lulus dalam seleksi untuk memperoleh beasiswa untuk studi tentang ilmu mekanika di salah satu negara Eropa. Seorang familinya mengatakan bahwa ia dapat meraih kemajuan pada hari-hari akhir remajanya adalah karena ia mampu berfikir untuk mengembangkan bakat-bakat yang tersimpan dalam diri setiap orang dapat mengembangkan bakat-bakat dan kecakapan yang terpendam asal ia mau. Banyak lagi orang-orang lain yang pada masa kecil dan masa remajanya biasa-biasa saja dan malah kurang diacuhkan oleh teman-temen dapat berhasil dalam perjalanan hidup berikutnya setelah bertekad untuk mengembangkan bakat-bakat yang terpendam. Ini pun akan dapat anda dan kita semua, alami asal kita mau berlatih dan berusaha sekeras-kerasnya. Kita harus mau terus bertekun tanpa merasa bosan-bosan. Ada orang, sebagai contoh pada mulanya kurang memiliki rasa percaya diri karena tidak menguasai cara berkomunikasi. Pada hal melihat dari latar belakang orang tua dan familinya menunjukkan bahwa ia bukanlah orang yang bertipe pendiam dan kaku. Maka ia melakukan praktek-praktek melatih diri dengan caranya sendiri, akan tetapi tentu ia memerlukan ketabahan den keberanian dan sampai pada akhirnya kekakuan-kekakuannya itu mencair ibarat es diterpa panas matahari. Mereka yang kelak menjadi orang-orang yang pandai berbicara, mula-mula juga bersifat malu-malu dan merasa khawatir setelah mati.
Kebanyakan bakal ada yang membutuhkan pengekspresian lewat bahasa seperti bakat berpidato, menyanyi, bakat menjadi psikolog dan sebagainya. Tetapi kekakuan dalam berbahasa selalu sebagai kendala utama, kecuali setelah melatih diri. Bagi yang gering dilanda kegugupan dan mengekspresikan bahasa lisan mungkin baik sekali kalau setengah menit sebelum memulai berbicara untuk menarik notes dalam-dalam beberapa kali saja. Dengan demikian memasukkan banyak zat asam ke dalam badan kita dan ini akan menambah rasa percaya kepada diri sendiri dan menambah keberanian.
Dale Carnegie dalam bukunya “Cara mencapai sukses dalam memperluas pergaulan dan pandai bicara” mengatakan bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah jangan memperlihatkan kegelisahan seperti dengan membuka dan menutup kancing baju. Atau jangan pula memperlihatkan kegelisahan dengan memutar-mutar tangan. Jika perlu kita jelmakan kegelisahan kita dengan meletakkan tangan kita di belakang badan. Dengan cara begini terserah kita lagi.. Apakah kita menggerak-gerakan jari yang jelas tidak ada orang yang melihat dan tahu bahwa kita lagi. merasa gelisah.
Bagi orang yang ingin berpidato, dalam rangka mengembangkan bakat terpendam yang diperlukan bukanlah keberanian moril akan tetapi adalah kecakapan untuk menguasai syarat-syarat. Dengan berlatih terus menerus kita bisa menguasai syaraf dan diri sendiri. Dalam hal ini adalah kita harus membiasakan diri dengan cara mencobanya berulang-ulang kali. Dan kita harus tetap tekun dan jangan berhenti-henti atau seperti istilah umum hangat-hangat tahi ayam.
Salah satu kapuasan orang yang memiliki bakat memimpin adalah untuk mempengaruhi dan menguasai kawan-kawan. Tentu saja ini dalam arti positif. Maka bagi remaja yang berbakat dalam tentu dapat latih diri. Salah satu usaha adalah dengan mencoba untuk menjumpai lebih banyak orang yang mau belajar bersama dengan kita. Dan kemudian dengan suka rela kita coba untuk menjadi pemimpin. Sarana lain untuk melatih diri dalam hal kepemimpinan adalah dengan cara berlatih di depan kawan-kawan, di depan anak-anak dan di depan keluarga sendiri.
Comas dan ketakutan dapat mengganggu perkembangan bakat ini timbul akibat kebodohan dan keragu-raguan kita. Tetapi cemas disebabkan oleh kurang percaya diri kepada diri sendiri. Kecemasan dan ketakutan selalu timbul jika seseorang tidak tahu apa yang sesungguhnya harus dilakukan. Adapun jika kita senantiasa melakukan beberapa latihan maka, Insya Alah, kecemasan akan lenyap. Tentu saja kita jangan , terlatih sekali saja akan tetapi kalau perlu kita berlatih sampai sepuluh atau dua puluh kali.
Dalam usaha awal kita untuk mengembangkan bakat memang kita merasakan kesulitan. Sebab seperti dikatakan oleh orang bijak bahwa setiap permulaan itu susah dan setiap akhir itu adalah mudah. Bagi seorang calon guru yang sering berlatih berbicara atau seorang calon penulis yang berlatih menulis tetapi sering dilanda kehabisan bahan. Maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan membuat kisah yang menarik asal kita tidak terlalu banyak berbicara tentang diri sendiri.
Ada orang yang apabila bercakap-cakap tentang pekerjaan hanya berbicara tentang soal-soal yang mengasyikkan dirinya sendiri belaka. Sebaliknya tidak, begitu. Kita mesti juga membicarakan yang menyinggung hal-hal yang menyenangkan bagi teman-teman dan orang lain. Untuk itu marilah kita berbacara dengan kawan-kawan dan kita bahas masalah kecil itu dari berbagai segi.
Orang membangun rumah dengan membuat rencana lebih dahulu. Tetapi ada orang yang ingin untuk mengembangkan, bakat-bakat yang terpendam, seperti bakat untuk berpidato tanpa rencana. Perkembangan bakat adalah laksana perjalanan panjang yang mempunyai tujuan. Karena itu jalan ini harus kita rintis. Sebab siapa yang akan berangkat tanpa tujuan tentu akan tarsesat.
Seorang orator pemula atau penulis muda tentu ia perlu menyediakan catatan-catatan singkat. Sedangkan anak kecil yang berlatih berjalan, saja juga perlu memegang meja atau kursi untuk mengembangkan keinginan berjalannya.
Kita rasa dalam menggali bakat-.bakat terpendam ini tidak ada istilah terlambat. Maka sangatlah bijaksana kalau setiap orang senantiasa suka untuk mengembangkan bakat dan menggali bakat yang terpendam demi kemajuan diri terutama, dan dami kemajuan bangsa secara umum.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
BAGAIMANA KALAU TIDAK LULUS DI PERGURUAN TINGGI
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
BAGAIMANA lagi kalau tidak lulus di perguruan tinggi? Pertanyaan begitu banyak kita dengar dimana dan dari siapa saja. Ada yang menjawabnya dengan serius dan ada pula menanggapi dengan bergurau. Remaja umumnya gemar bergurau dan ada yang menjawab “wah saya kawin saja dengan orang kaya”. Banyak lagi jawaban lucu yang membuat kita terpingkal untuk mendengarnya.
Secara berseloroh kita pun dapat membuat kelompok-kelompok kemungkinan yang akan dilakukan oleh para lulusan SLTA, yakni kuliah di perguruan tinggi, mencari pekerjaan dan kalau tidak, segera berumah tangga. Ini banyak terjadi apalagi bagi sekolah-sekolah SLTA yang berdomisili di daerah. Jangan tamat sekolah saja malah tiga hari menjelang ujian akhir sudah banyak yang tarik diri dari status pelajar secara terpaksa atau sukarela. Terpaksa karena telah mengalami “dulu bajak dari pada kerbau”.
Tetapi bagi yang masih suka berfikir, tunggu dulu. Sebab persoalan perkawinan sekarang tidak semudah pada zaman Siti Nurbaya lagi. Dari sudut ekonomi saja bahwa sekarang kalau mendirikan rumah tangga saja musti memiliki tiang ekonomi yang agak kokoh. Kaum remaja sekarang sedikit salah kaprah, mereka beranggapan bahwa cintalah diatas segalanya. Pada hal kalau perut sedang lapar, kalimat “I love you” tidak akan pernah membuat perut kenyang.
Lagi pula remaja sekarang dalam soal cinta tidak bersifat logika, tetapi semua banyak bersifat emosional dan berandai-andai. Tetapi setelah biduk rumah tangga didayung maka empat atau lima bulan sudah oleng. Pokoknya Ulah ingin mendirikan rumah tangga maka, terutama pihak pria, mesti lebih matang dari wanita. Ya matang dalam soal ekonomi, sosial, jiwa, emosional, agama dan sosial biologis tentu sudah lebih duluan matangnya.
Sekarang kita musti berfikir lebih realistis. Apalagi persaingan hidup sekarang amat ketat. Siapa yang bodoh dan malas tentu akan menjadi penonton dan tertinggal jauh. Kita lihat jumlah manusia sekarang semakin ramai dan jumlah luas permukaan bumi tetap saja. Sehingga sekarang orang, saling berebut. Hubungan darah tidak lagi terasa, mamak sendiri bisa menjadi musuh kemenakan, anak bisa makin durhaka dan melupakan orang tua. Pokoknya sekarang sifat sosial dilupakan pelan-pelan dan digantikan oleh sifat individu yang egois. Untuk dapat bertahan hidup setiap orang tentu mesti memiliki kekuatan. Dan sekarang terlihat bahwa uanglah yang dianggap orang lebih kuat.
Pokoknya dengan uang orang bisa mendapatkan apa saja. Cinta pun bisa dibeli dengan uang. Tetapi bagi kita nilai uang janganlah sebagai tujuan agar kita tidak khilaf dalam hidup. Pegangan hidup kita tentu tetap agama.
Kalau tidak berhasil melanjutkan studi di perguruan tinggi banyak pemuda melirik usaha kerja. Dalam bekerja mereka ada yang menjual jasa otak dan menjual jasa otot. Terasa oleh kita bahwa nilai jasa otak jauh lebih tinggi, dari jasa otot.
Ingin tahu bagaimana nilai jasa otot? Pergilah ke terminal atau ke pelabuhan. Kasihan kita bukan. Dan kerja seperti ini juga bagus, tetapi yang berkembang cuma otot saja sedang otak cenderung statis. Kalau kita tidak ingin bekerja dengan menjual tenaga maka kita harus mengembangkan pikiran.
Banyak juga remaja yang tidak berhasil duduk di perguruan tinggi melirik jalur pendidikan lain. Sekarang yang lagi trendi adalah ikut kursus bahasa Inggeris atau kursus komputer. Dan tentu masih banyak bentuk-bentuk kursus lain yang bermanfaat. Sayang remaja banyak yang tidak mengetahui jenis kursus yang cocok bagi dirinya. Misalnya ada seorang remaja pria ia terbiasa hidup urakan dan ia memilih kursus komputer. Ternyata setelah di coba satu atau dua bulan kursus ini terasa membosankan. Penyebabnya adalah karena ia tidak terbiasa untuk melatih otak. Maka setelah ikut kursus komputer ia merasakan otaknya tumpul. Maka kita sarankan agar setiap remaja atau yang ingin mengikuti kursus sebaiknya disarankan agar setiap remaja atau yang ingin mengikuti kursus sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pribadi.
Kalau kita memiliki otak sedikit tumpul tetapi badan dan pangkal lengan terasa besar maka cocoknya kita ambil saja kursus montir atau keterampilan kayu. Kalau kita berbakat dalam hal verbal atau berkata-kata mungkin cocok kita ambil kursus bahasa atau pelayanan jasa yang berhubungan dengan orang banyak. Tetapi sebetulnya untuk kursus bukan hanya terbatas pada komputer dan bahasa Inggeris saja seperti yang latah dibaca oleh orang-orang muda sekarang. Kursus lain-lain yang lebih menjanjikan prospek bagus cukup banyak karena memang dibutuhkan oleh konsumen. Ia adalah seperti kursus menjahit, bertukang, memasak, elektronika, bengkel dan kursus keterampilan lainnya.
Tidak terhitung banyaknya lulusan SLTA yang meninggalkan kampung halaman. Mereka banyak melirik kota-kota di pulau Jawa, Medan, Palembang dan lain-lain. Malah Batam juga termasuk daerah yang mereka lirik. Mereka banyak yang ikut famili, ikut teman dan dibawa oleh orang-orang lain. Ini bagus, tetapi kita musti tetap menjaga pribadi kita. Janganlah demi mendapatkan sesuap nasi untuk pagi dan petang kita korbankan akidah kita, dimana halal dan haram sama saja. Kalau akan luntur kiranya pribadi kita tentu mendingan kita tetap tinggal di kampung dan berwiraswasta disana.
Walaupun penduduk Indonesia sudah hampir 200 juta jiwa. Namun buminya masih luas. Toh kalau kita berada di kota memang terasa sempit dan susah. Di kota memang serba mahal dan serba dibeli. Air minum dan masuk toilet saja kita membayar, jangan-jangan sebentar lagi bernafas juga kita membayar. Kalau kita berada di daerah semuanya terasa masih lapang. Apalagi, alam kita sangat subuh. Air berlimpah dan buminya hijau sebagai pertanda kesuburan.
Untuk itu bila kita tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, maka mengapa kita harus frustrasi dan menganggur? Banyak hal-hal positif dapat kita lakukan pekerjaan lama sampai sekarang masih ada yang bertahan dan tidaklah tercela dan hina kalau kita juga melakukannya. Pekerjaan itu adalah seperti membuka usaha bertani, berkebun, perikanan, peternakan, pertukangan dan lain-lain sebagainya. Tentu dalam melakukan usaha ini kita mesti meningkatkan tekhnik dan menajemen, atau pengelolaannya. Malah kita lihat banyak orang-orang sekeliling yang berhasil dalam mengolah pekerjaan dasar ini. Cobalah lihat di daerah-daerah ada orang yang berhasil dalam usaha membuka penggilingan padi, membuka kios, bengkel dan membuat usaha makanan ringan untuk dipasarkan di kota.
Usaha-usaha yang semula kita anggap remeh tetapi kenapa ada orang yang berhasil dalam usaha itu? Lihatlah ada orang yang sukses dalam usaha ternak ayam, usaha penggemukan sapi dan malah juga menyerap tenaga sarjana sementara yang mempunyai usaha sendiri sekolah dasar pun tidak tamat Tetapi ia berhasil karena belajar dari alam. Tetapi kenapa kita tidak meniru langkah-langkah mereka?
Orang-orang kita kalau ingin membuka usaha selalu mencari alasan yang “tidak bisa”. Sering modal sebagai alasan dan akhirnya mereka tetap asyik menghayal di sudut kamar dan pergi ke kedai untuk menghempaskan batu domino dan membeli secangkir kopi. Pada hal ini pada dasarnya adalah membuang-buang waktu.
Pada mulanya orang banyak enggan untuk bekerja sendiri. Secara psikologis ini memang ada benarnya. Orang cenderung merasa suntuk dan lesu kalau tidak ada teman. Maka untuk ini ada pula baiknya bagi kita untuk mencari teman. Kita carilah teman, tetapi yang dicari adalah teman yang tetap punya semangat hidup. Kita tidak berguna kalau terlalu sering bergaul dengan orang pemalas dan merasa pesimis melulu. Semangat itu ibarat virus karena ia bisa menular. Kita musti selalu waspada agar jangan virus malas teman yang pemalas menjangkiti kita. Kalau kita ingin sukses dalam hidup silahkan bergaul dengan orang yang bersemangat agar virus optimis mereka juga menulari kita.
Jadi sekarang jelaslah bagi kita, bahwa kalau kita tidak berhasil untuk studi di perguruan tinggi kita tak perlu bersedih hati. Masih banyak hal-hal positif yang dapat kita lakukan. Kita dapat mengikuti kursus, menambah keterampilan, meluaskan wawasan sambil menunggu kesempatan tahun depan.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat
EKSTRA KURIKULER BERORIENTASI KEPADA DUNIA KERJA
Oleh: Marjohan
SMA Negeri 3 Batusangkar
Agaknya angka pengangguran setiap tahun bukan semakin berkurang tetapi malah sebaliknya, semakin meningkat dan bertambah parah. Mengapa sampai tinggi tingkat pengangguran untuk negeri seperti Indonesia yang begitu hijau dan subur? Sementara itu untuk negara maju profesi seperti tukang cat, bertani, beternak, berkebun dan lain-lain adalah profesi yang cukup banyak dilakukan oleh generasi muda. Sementara itu di negara kita profesi ini dianggap “begitu rendah” sehingga mereka cenderung mengabaikannya dan tidak merasa malu untuk menganggur, untuk sebagian orang atau pergi merantau tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Jiwa menganggur bisa jadi timbul dari etos kerja yang sangat tipis. Hidup tanpa etos kerja barangkali telah ditanamkan oleh lingkungan. Lingkungan rumah, lingkungan sosial dan lingkungan sekolah yang kurang memperhatikan gambaran dunia kerja.
Begitu kuat pengaruh kata-kata yang, dilontarkan oleh orang tua dan famili di rumah terhadap generasi muda. “Oh itu pekerjaan kasar; tidak cocok untuk anak sekolah’ “Kemudahan apa yang terjadi adalah mereka bangkit dengan watak suka gengsi-gengsian dalam menyentuh pekerjaan. Otak yang tidak menyokong, wawasan vans sempit dan mental yang lemah telah ikut mensuburkan mereka ke dalam angka pengangguran. Tampak, jelas bahwa pengangguran dapat juga disebabkan oleh faktor lingkungan rumah dan ketidaksiapan orang tua untuk memperkenalkan serta mewarisi generasi muda terhadap pekerjaan.
Lingkungan sosial tak sedikit mempengaruhi mental menganggur. Kawan-kawan yang terlalu dibuai oleh hiburan yang berlimpah dan iklan-iklan yang banyak menyerukan untuk pemanjaan kulit telah mempengaruhi jiwa generasi muda dan kemudian membiusnya. Semangat adalah ibarat virus karena bisa menulari kita, maka sangat arif kalau kita senantiasa kalau tidak bisa mengatasinya untuk menghindari orang-orang yang suka mematahkan semangat kerja.
Sebagian lain dari melempemnya etos kerja bisa jadi karena pengaruh sekolah. Walau sekolah telah dibagi atas sekolah umum dan sekolah kejuruan, tetapi agaknya sekolah-sekolah itu lebih memperhatikan pembinaan aspek cognitif atau intelektual dan cenderung mengabaikan aspek psikomotorik clan faktor efektif.
Sekolah kejuruan saja, misalnya yang telah melatih dan mengasuh siswa-siswa dalam aspek cognitif dalam psikomotorik atau keterampilan masih banyak melahirkan lulusan yang “demam menganggur”. Penyebabnya adalah pada faktor efektif atau mentalitas kerja. Apalagi kalau kita tinjau pula keberadaan sekolah lanjutan untuk yang dipersiapkan untuk ke perguruan tinggi. Tetapi faktor finansial atau kantong orang tua yang tipis dan kualitas otak sangat sederhana telah menciptakan para lulusannya menjadi korban pengangguran. Melihat kenyataan ini tentu sangat menarik kalau kita soroti keberadaan sekolah menuntut program pendidikan yang ada.
Tentang kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Sampai sekarang kegiatan ekstrakurikuler pada banyak sekolah, terlihat hanya bersifat main-main saja dan belum dirancang secara khusus untuk menghadapi tantangan masa depan. Kegiatan ekstrakurikuler yang umum diikuti oleh banyak siswa sekarang adalah seperti kegiatan olah raga, pramuka, pencinta alam dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan itupun cenderung bersifat angin-anginan. Kemudian bentuk kegiatan ekstrakurikuler lain yang juga banyak diikuti oleh siswa-siswa adalah dalam bentuk kursus bahasa Inggeris dan kursus komputer. Kemudian bagaimana hasilnya? Karena kebanyakan kita, dan juga anak-anak didik memiliki semangat belajar rendah dan tidak disiplin membuat mereka serius suka putus ditengah jalan. Serine terlihat peserta kursus-kursus seperti “ekor tikus” makin ke ujung makin habis.
Secara formal kegiatan ekstrak kurikuler di sekolah dapat dituangkan lewat program kegiatan OSIS. Bentuk program yang dapat diterapkan oleh OSIS terlihat ada dalam bentuk delapan seksi. Seksi-seksinya adalah seperti: Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan pendahuluan bela negara. Kepribadian dan budi pekerti luhur organisasi politik dan kepemimpinan. Keterampilan dan kewiraswastaan, persepsi dan kreasi seni dan seksi kesegaran jasmani dan daya kreasi.
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan OSIS ini tiap tahun, maka setiap sekolah menandakan rapat OSIS untuk memilih seksi pelaksana dari unsur siswa dan seksi pembimbing dari unsur guru. Tetapi bagaimana dalam realitanya? Pelaksanaan kegiatan OSIS, kecuali sebagian saja, ternyata sering bersifat “omong kosong” dan selalu bersifat teori di atas kertas meski SK-SK atas nama pembina OSIS itu sendiri dapat dimanfaatkan oleh guru-guru sebagai modal untuk pangkat. Maka jadilah mutu ekstrakurikuler OSIS; kebanyakan; tidak pernah bergenjot naik.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa sekolah-sekolah untuk tingkat SLTA, secara umum, telah diklasifikasikan ke dalam sekolah umum (SMU) dan sekolah kejuruan. Namun bukan berarti bahwa SMU yang dipersiapkan untuk pendidikan ke perguruan tinggi dan jumlah SMU juga mayoritas membuat para lulusannya dapat melangkah lulus. Faktor intelektual dart keuangan Yang macet sering menyandung para lulusan SMU untuk melangkah ke perguruan tinggi. Kemudian bagaimana kesudahannya?
Memang faktor intelektual dan keuangan yang tinggi menguntungkan tetap menjadikan studi di perguruan tinggi sebagai impian panjang bagi sebagian lulusan. Kemudian karena orang tua dan lingkungan tidak mewarisi semangat untuk hidup berwiraswasta membuat mereka kebingungan. Sifat gengsi-gensian dalam mencari dan melakukan kerja membuat mereka semakin terpuruk ke dalam bentuk pengangguran. Begitu pula sekolah-sekolah yang mereka tempuh, paling kurang lewat kegiatan ekstrakurikuler, tidak pernah memperkenalkan jenis-jenis pekerjaan dan keterampilan yang bermanfaat bagi mereka untuk menuju dunia kerja yang nyata.
Cukup banyak orang yang menyadari bahwa sekolah sebenarnya bukanlah satu-satunya tempat persiapan profesional (atau kerja). Untuk beberapa hal misalnya kemahiran membaca not balok, menjadi pelari cepat, melukis dan membuat boneka, bagi seseorang bisa mempersiapkan dirinya di tempat lain. Itu pun kalau mereka cukup bakat. Sedangkan yang perlu disiapkan di sekolah. Mungkin, bagaimana cara menumbuhkan apresiasi dan memotiviasi siswa, generasi muda, untuk mencari kerja.
Yang kerap kali terjadi di dunia sekolah bukanlah demikian. Pengajaran seni/keterampilan, misalnya, pada prakteknya hanya berupa pengajaran istilah-istilah saja. Pengajaran olahraga belum begitu mendarah daging, karena cukup banyak siswa yang tidak melakukan olah raga secara rutin di rumah. Pengajaran fisika yang pelajaran ekstra lain belum mampu menggugah sikap bertanya siswa tentang alam. Karena dalam memberikan ulangan yang penting adalah bagaimana penguasaan “hafalan” rumus-rumus.
Sebenarnya kegiatan ekstrakurikuler yang sering dilaksanakan di sekolah cukup bermanfaat. Tetapi manfaatnya belum dirasakan oleh banyak siswa. Kita ambil program belajar tambahan sebagai contoh. Program hanya cocok untuk siswa yang memiliki kapasitas intelektual yang mantap dan motivasi yang tinggi. Sementara anak didik lain yang tidak mempunyai minat karena tidak akan melanjutkan studi misalnya, akan merasa terpaksa dalam mengikuti program ini. Barangkali bagi mereka ada pula bentuk program ekstrakurikuler yang cocok dan mereka minati yang perlu dipikirkan.
Untuk meningkatkan kwalitas pendidikan sangat baik kalau kita juga melakukan cermin diri. Tidak perlu kita mengunjungi negara maju lain. Untuk bercermin diri terhadap pendidikan di negara maju dapat dilakukan lewat berbagai media massa. Ambillah pendidikan di Inggris sebagai contoh.
Di Inggris, seorang remaja di kampung mengikuti pelajaran di sekolah (karena jalan belajar lebih lama) akan mengambil les pelajaran tertentu pada malam hari pada berbagai kursus. Bisa jadi itu mereka lakukan sekedar memperkaya hobi saja dan untuk mencari teman. Tetapi yang penting adalah mereka perlu mengenal jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler yang mana bisa memperkaya pengalaman. Agar kelak bila dewasa setelah lulus sekolah mereka tidak canggung dan tidak mengenal konsep menganggur.
Mengikuti ekstrakurikuler yang tepat dan hidup dengan cara menghargai waktu akan memberikan dampak positif. Anak didik atau remaja dan akan dapat memiliki watak lebih dewasa dan lebih percaya kepada diri sendiri. Sehingga bila mereka berbicara akan teratur sekali, cara berfikir cemerlang dan mudah diikuti.
Sikap kebanyakan siswa dan juga kita sendiri, karena memiliki waktu yang banyak tetapi kekurangan aktivitas cenderung suka “kongkow” seenaknya. meskipun pada hari atau jam kerja. Jauh berbeda dengan sikap hidup orang di negara maju. Misalnya orang disana tidak bisa bertandang seenaknya ke rumah orang lain. Pada umumnya anak didik belajar dengan serius. Kemudian pulang ke rumah dan istirahat sebentar dan sibuk lagi mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Kebalikannya. siswa-siswa di sekolah kita malah cenderung pasif. Mereka mengeluh kalau diberi pekerjaan rumah apalagi kalau agak banyak nampaknya karena sikap hidup yang santai dan suka bermain-main sepanjang waktu. Mereka memang sebagian lebih tertarik untuk menikmati hiburan yang jumlah berlimpah dan hura-hura.
Kita melihat pembengkakan angka pengangguran termasuk melihat kesalahan disana sini maka kita patut berfikir lebih keras. Khusus terhadap angka pengangguran agaknya pihak sekolah clan pihak-pihak yang merasa berkompeten seharusnya juga ikut prihatin memikirkan dan mencarikan suatu jalan keluar. Kini yang perlu kita pikirkan adalah bahwa sangat tepat memberikan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang berorientasi kepada dunia kerja.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
MEMULUSKAN KOMUNIKASI ATAS-BAWAH DI SEKOLAH
Oleh : Marjohan
Tak sedikit mass media menyuarakan tentang jeleknya mutu pendidikan pada masa-masa yang telah lalu. Penurunan mutu pendidikan ini sebagian tersandung karena buruknya komunikasi atas bawah. Yaitu komunikasi antara murid dan guru dan komunikasi antara guru-guru dengan pihak atasan.
Ada beberapa isyarat di sekolah yang menunjukkan bahwa komunikasi lagi tersandung. Apakah di dinding WC dan bagian dinding sekolah lain banyak coret-coretan, waktu bukan karena aksi vandalisme, tetapi sebagai sarana pelampiasan rasa tidak puas.
Suatu ketika kita melihat coretan yang ditulis siswa yang lagi memprotes kepala sekolah atau salah seorang guru bidang studi yang kurang bersahabat dengannya. Parahnya lagi kala siswa itu memiliki karakter mental yang labil dan tidak mampu mengekspresikan dalam bahasa lisan secara jantan, memilih cara sembunyi-sembunyi untuk menuliskan kata-kata jorok sebagai ungkapan rasa protes.
Tingginya tingkat absensi guru-guru adalah isyarat jeleknya komunikasi antara guru dengan pihak atasan. Begitu pula terhadap siswa-siswa. Walaupun dari rumah terlihat menuju sekolah, tetapi kemudian menyimpang entah kemana, juga merupakan dari jeleknya komunikasi antara guru dan murid di kelas.
Komunikasi yang ideal adalah komunikasi yang dua arah, atau two ways communication. Tetapi yang lazim terlihat dan teraplikasikan adalah komunikasi satu arah dan datanya selalu di atas.
Di kelas, dalam proses belajar mengajar, lebih ditekankan sistem belajar “student-centered” dan “communicative approach”. Pelaksana penekanan kedua sistem ini amat menyokong teraplikasinya komunikasi sistem dua arah, dari guru ke murid dan dari murid ke guru. Tetapi sayang penekanan kedua sistem ini belum memasyarakat di sekolah-sekolah. Yang masih sering teraplikasikan adalah sistem “teacher-centered’ dan “non communicative approach”.
Suasana umum yang terlihat pada hampir banyak sekolah adalah aktivitas belajar mengajar yang berfokus kepada guru. Dimana guru lebih kerap memilih metoda berceramah di depan murid-murid yang terpaksa tenang. Kalaupun ada guru yang memilih metoda belajar mengajar dan menyajikan pelajaran dengan menggunakan media-media sederhana di papan tulis, karena baru saja selesai melakukan penataran pendidikan. Tetapi kerap kali cara mengajar yang begini hanya bertahan untuk sesaat saja dan setelah itu kembali menggunakan metoda mengajar asal jadi saja.
Komunikasi satu arah, dari guru ke murid, kerap kali membuat murid serba pasif. Apa saja yang diperbuat dan diperintahkan oleh guru adalah mutlak dan harus diterima oleh murid. Sebetulnya ada juga murid yang ingin berpartisipasi aktif dalam berkomunikasi. Tetapi ia khawatir kalau guru salah paham. Pada akhirnya adalah berdampak pada gertakan pengurangan nilai rapor.
Kadang kalau guru ada yang aneh. Kalau dalam kegiatan belajar mengajarnya tidak ada murid yang mampu bertanya atau menjawab, maka ia akan marah. Tetapi kalau ada murid yang bertanya atau mengungkapkan protes, sebagai tanda bahwa murid itu juga kritis, maka guru tertentu akan marah. Barangkali dimatanya adalah bahwa murid yang baik adalah murid yang tidak banyak cerita dan kalau diminta musti menurut.
Komunikasi satu arah dalam kelas menunjukkan bahwa hak murid untuk berbicara masih terbelenggu. Memang cukup banyak murid yang suka bicara balik belakang sebagai isyarat bahwa komunikasi dari arus bawah, dari murid ke guru, masih macet. Ada seorang murid tercatat sebagai penerima beasiswa, misalnya, tetapi setelah belajar dua atau tiga bulan beasiswa itu belum juga cair. Rasa takut membuat ia tetap tersandung dalam mewujudkan komunikasi dari arah bawah. Khawatir akan berantakan atau jawaban yang mengecewakan dari guru tetap menyebabkan rasa takut dan khawatir yang dirasakan oleh murid.
Guru, meskipun di dalam kelas dapat berceloteh tetapi dalam berkomunikasi dengan pihak atasan juga sering tersandung. Akibatnya banyak mereka suka bicara belakangan dan melakukan perbuatan apa yang dia suka meski merugikan murid sebagai ungkapan protes atas ketidakpuasan.
Seringkali seorang guru banyak mempunyai ide-ide dan unek-unek lain yang ingin disampaikan kepada pihak atasan. Tetapi begitu rapat telah berlangsung ia tak mampu lagi mengutarakan segala ide dan unek-unek dalam kepala tak mampu meluncur keluar. Rasa percaya diri kurang, tidak terlatih untuk berbicara dalam forum dan beban psikologis lain selalu menjadi batu penyandung dalam berkomunikasi. Sehingga tetap saja komunikasi dua arah gagal untuk terwujud. Ditambah lagi dengan sikap pihak atasan yang selalu suka menjaga jarak, barang kali ingin menjaga harga diri atau wibawa mungkin.
Banyak hal-hal yang tetap menyebabkan kita gagal dalam menyalurkan ekspresi dalam komunikasi dua arah. Penyebab utama adalah karena kita tidak terlatih sejak kecil dalam keluarga. Ini semua bisa jadi akibat kesibukan orang tua dalam mencari nafkah dan tidak tahu cara untuk melowongkan waktu untuk mendidik kita sebagai generasi penerus mereka. Atau kalaupun ada waktu mereka tidak memiliki ilmu cara mengembangkan pribadi kita untuk berkomunikasi. Ini disebabkan rendahnya pendidikan rata-rata orang tua kita.
Umumnya kita dapat mengungkapkan pikiran dalam bentuk komunikasi dua arah adalah dalam suasana informal diluar kegiatan proses belajar mengajar bagi guru dan murid. Dalam suasana santai, pada waktu senggang, bagi komunikasi guru dengan pihak atasannya. Tapi sayang sering diluar kegiatan belajar mengajar, begitu proses belajar mengajar usai, guru walau tidak semua buru-buru meninggalkan ruangan kelas dan tidak menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan murid walau hanya sepatah-dua patah kata. Begitu pula bagi pihak atasan sekolah, walau tidak semuanya, pada waktu senggang mengurung diri di ruangannya. Atau kalau punya waktu untuk berkumpul dengan rekan-rekan guru lebih sering bersikap sebagai mandor yang akan mengawasi para pekerja. Dalam arti kata berpenampilan angker dan mahal senyum, datang cuma mencek “kenapa anda mengajar begini dan kenapa tidak begitu”. Atau datang cuma untuk memberikan anjuran demi anjuran seperti : tingkatkanlah disiplin, cobalah anda tingkatkan NEM bidang studi anda, buatlah satuan pelajaran dan lain-lain. Itu Cuma kalimat yang disampaikan dalam komunikasi satu arah, dari atas ke bawah, yang isinya Cuma seputar “anjuran dan larangan semata”. Setelah itu ia kembali menyelinap kedalam ruangan kantornya sebagai menara gadingnya.
Ada anggapan bahwa untuk tetap berwibawa maka seorang guru harus menjaga jarak terhadap murid dan seorang atasan membuat jarak sosial terhadap guru-guru. Menjaga jarak dalam makna yang sempit dan makna kata “berwibawa” yang lebih picik telah mewarnai bentuk interaksi dan komunikasi kita.
Malah ada orang yang beranggapan bahwa ia telah beranggapan bahwa ia telah mengaplikasikan prinsip penampilan berwibawa dengan cara berbusana rapi, mahal senyum dan dengan gerak dan cara berbicara yang dibuat-buat. Namun dampaknya orang malah merasa risih apabila berdampingan dengan orang seperti itu. Namun bila telah saling berpisah terasa adanya kelapangan dan kebebasan. Ibarat seorang anak yang berdampingan seorang ayah yang otoriter atau diktator yang menganggap pribadinya sebagai ayah yang berwibawa. Dimana anak merasa bebas kalau tanpa ada ayah disampingnya.
Kewibawaan bukan ditentukan oleh ukuran fisik guru atau seorang. Bersikap dan berbicara yang dibuat-buat tidak akan mendatangkan arti wibawa yang sesungguhnya. Wibawa lebih ditentukan oleh isi kepala, isi data dan sikap seseorang. Tidak salah kalau kita membuka diri kepada murid dan sekali-kali bercanda dengan mereka. Tetapi bila kita terlalu suka bercanda bebas dan berlebihan tentu tidak ada lagi batas-batas dan akan membuat wibawa hancur. Begitu pula bila kita mengabaikan cara berpakaian dan cara berbicara, tentu wibawa bisa lebur.
Sekarang tampaknya usaha pemerintah dan kita semua dalam meningkatkan sumber daya manusia di sekolah terlihat semakin serius. Kalau tidak buat apa gunanya diadakan sekolah unggul atau kelas unggul segala.
Namun usaha-usaha kita dalam peningkatan mutu tentu tidak tercapai secara sempurna kalau komunikasi tidak pernah dimuluskan. Dan yang kita maksudkan adalah memuluskan komunikasi dua arah.
Kebiasaan mengkritik atau berbicara balik belakang menandai adanya komunikasi internal, komunikasi dua arah yang tersumbat. Ini tentu saja karena komunikasi terlalu bersifat searah, alias hanya dari pihak atasan kepada guru-guru dan dari guru-guru kepada murid-murid.
Jika komunikasi internal tak segera dibenahi dan kepentingan kedua pihak tidak dipertemukan maka konflik demi konflik akan merusak hasil-hasil usaha yang telah kita lakukan. Maka salah satu usaha yang dapat kita melakukan untuk memuluskan komunikasi atas bawah di sekolah adalah dengan cara membudayakan komunikasi intensif.
Forum informal, mengadakan dialog-dialog ringan pada saat guru dengan murid, adalah cara efektif untuk membudayakan komunikasi intensif. Forum informal itu penting untuk menangkap aspirasi dari arus bawah. Tidak semua hal bisa terungkap dan digali lewat komunikasi formal.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
MENYELENGGARAKAN SEKOLAH UNGGUL PERLU MEMBUDAYAKAN GEMAR MEMBACA
Oleh : Marjohan
Akhir-akhir ini ada ide untuk menyelenggarakan, sekolah unggul. Tentu ini amal membanggakan kita semua, sebab selama ini seolah-olah orang kita, cuma tenggelam dalam kritik-mengkritik saja. Halaman surat kabar clan media lain banyak menceritakan tentang kualitas dunia pendidikan yang rendah. Kemudian pemikir pendidikan mengadakan usaha tambal sulam dan sedikit perubahan-perubahan dimana pada akhirnya tetap menunjukkan kualitas yang tidak beranjak.
Kata orang tua-tua, karena mudahnya untuk bersekolah sekarang membuat orang ada yang memandang enteng saja dunia pendidikan. Tingkat kebenaran pernyataan ini tentu tergantung kepada persepsi kita masing-masing. Yang jelas dalam pandangan kita tetap ada murid yang semangat belajar tinggi tetapi banyak pula mereka yang memandang sekolah ini sebagai main-main saja. Agaknya setiap kita pernah mendengar guyon-guyon lucu yang mereka katakan: Sekolah itu pergaulan, SPP sumbangan dan buku rapor undangan.
Sebelum istilah sekolah unggul muncul dalam surat kabar, dulu telah ada pula istilah sekolah plus. Untuk SMA bernama SMA PLUS. Bisa jadi bahwa sekolah plus itu lah yang dikenal dengan istilah sekolah unggul clan ini telah berdiri di Indonesia. Dimana sebagai contoh dan patokan pula bagi daerah-daerah lain yang berminat mengikutinya.
Arti “Plus” atau “unggul” adalah menunjukkan jaminan mutu. Sebab kita mengharapkan sekolah-sekolah unggul dapat mengeluarkan lulusan yang bermutu. Ada dua sekolah yang menyelenggarakan sekolah unggul di Indonesia, yaitu SMA Taruna Nusantara Magelang dan SMA Soposurung. Tentu akan dan telah bermunculan pula ditempat-tempat lain.
SMA Taruna Nusantara, yang didirikan tahun 1990 di Magelang, merupakan SMA Plus (unggul) swasta murni yang berdiri alas kerja sama ‘MABES ABRI dan perguruan Taman Siswa. SMA Soposurung, di Sumatera Utara, dimulai tahun 1991, menggunakan model kerja sama pemerintah dan swasta. Pemerintah menyediakan SMA Negeri 3 Soposurung, sementara yayasan Soposurung membangun asrama; menyediakan bea siswa clan membiayai pendidikan ekstrakurikuler.
Keunggulan SMA-SMA diatas, nilainya, ada pada asrama yang tidak hanya sebagai tempat menginap. Asrama untuk sekolah ini dilengkapi dengan fasilitas penunjang clan bimbingan bagi siswa di luar jam pelajaran. Artinya pendidikan yang diberikan boleh dikatakan terintegrasi antara pendidikan di kelas dan pendidikan mental disiplin asrama.
Belajar dan tinggal di sekolah unggul semua serba diatur. Saat baru bangun tidur, pukul lima pagi, siswa-siswa langsung digiring untuk senam pagi. Lalu ada bimbingan rohani sebelum makan pagi dan berangkat sekolah. Seusai sekolah ada berbagai kegiatan dari olah raga, berdiskusi sampai pada ceramah ilmiah. Demikian kata salah seorang siswa SMA Taruna Nusantara asal Sumatera Barat.
Tahun lalu beberapa provinsi juga akan membuka beberapa sekolah unggul, SMA Plus, yang semuanya mengacu pada model SMA Taruna Magelang atau SMA Soposurung Sumatera Utara. Begitu pula halnya dengan provinsi ini, Sumatera Barat, di mata jajaran Depdikbud telah menyelenggarakan rapat-rapat kerja tentang penyelenggaraan sekolah unggul.
Agaknya menarik juga mengikuti tulisan Naswardi dalam pojok komentar yang berbunyi “Padang perlu sekolah unggul” (Singgalang, 31 Januari 1995). Dalam tulisan itu dinyatakan tentang misi sekolah unggul yakni meningkatkan dan mengembangkan potensi sumber daya manusia Indonesia sebagai subyek dan wahana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Menurutnya bahwa sekolah unggul tidak semudah yang dibayangkan dan harus memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi. Faktor yang menentukan dalam penyelenggaraan sekolah unggul adalah penerapan dan pengembangan kurikulum, dan proses belajar mengajar yang dapat memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan logika, kreatif dan estetika. Disamping pembenahan proses pengadaan, pengangkatan, penempatan dan pembinaan tenaga pendidik.
Kemudian, kepala sekolah menduduki peran yang amat penting dalam pengembangan dan mengelola seluruh sumber daya yang dapat mendukung keunggulan sistem sebuah sekolah unggul. Ia mempunyai kemampuan manejerial yang tinggi dan pengalaman sebagai kepala sekolah minimal tiga tahun.
Guru yang selalu berhadapan dengan murid di sekolah menempati peranan kunci dalam mengelola kegiatan proses belajar mengajar. Pada jenjang Sekolah Dasar sebagai sekolah unggul yang dirintis akan menggunakan pendekatan sistem guru kelas. Sedangkan pada tingkat SMP dan SMA menggunakan sistem guru mata pelajaran. Keunggulan guru tidak hanya ditakar dari kemampuan intelektualnya melainkan juga keunggulan aspek moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, bertanggung jawab, keluasan wawasan kependidikannya dalam mengelola kegiatan proses belajar mengajar.
Rasanya untuk menyelenggarakan sebuah sekolah unggul betul-betul memerlukan rencana dan persiapan yang matang dan komplit. Dan semua ini amat didukung oleh penyediaan dana yang besar. Sedangkan dalam meningkatkan kualitas dan kwantitas dunia pendidikan kita dana inilah yang selalu menjadi kendala. Bayangkan saja untuk anggaran pendidikan yang disediakan negara kita cuma sekian persen saja, belum apa-apa dengan jumlah anggaran militer dan sebagainya. Konon kabarnya persentase anggaran pendidikan di negara kita terendah untuk tingkat negara ASEAN. Namun untuk kelancaran sekolah-sekolah unggul, yang tadi disebutkan, tergantung banyak kepada sokongan swasta. Mengingat begitu banyaknya jumlah sekolah di negeri ini, tentu cuma segelintir saja jumlah keberadaan sekolah unggul ini. Kecuali nanti apabila kondisi negara kita amat mapan secara (pengadaan) materil dan spiritual. Bagaimana dengan keberadaan sekolah-sekolah lain, padahal memperoleh pendidikan yang berkualitas adalah termasuk hak mereka dan kita semua. Kalau begitu menyelenggarakan sekolah unggul adalah juga sebuah hak yang harus dipikirkan dan diperhitungkan.
Untuk menjadi unggul (pintar) faktor tempat tidaklah selalu menentukan. Seseorang yang berada di pedalaman Irian Jaya dapat saja menjadi orang yang unggul atau berpikiran moderen kalau ia sanggup mengembangkan potensial diri dan otak adalah potensial utama kita. Begitu pula halnya dengan sekolah-sekolah, tetaplah disana ada tenaga potensial yang dapat dikembangkan. Selama ini ada sebuah potensial sekolah yang belum dimanfaatkan secara penuh yaitu “pustaka”.
Untuk menyelenggarakan sekolah unggul tentu (kita) perlu membudayakan gemar membaca. Sebab tanpa gemar membaca sekolah unggul yang diharapkan tentu cuma selalu berada dalam mimpi.
Menyelenggarakan sekolah unggul ala SMA Taruna Magelang bagi sekolah-sekolah di daerah tentulah di luar kemampuan karena biayanya amat mahal. Tetapi menyelenggarakan sekolah unggul dalam arti kata peningkatan mutu ini memerlukan kemauan kita dalam membelajarkan diri agar wawasan pendidikan dan intelektual kita meningkat.
Untuk ini usaha kita amat berhubungan dengan buku dari perpustakaan. Untuk itu keberadaan perpustakaan sekolah, sekali lagi, perlu dikembangkan agar budaya gemar membaca dapat terwujud.
Kalau kita perhatikan kegiatan siswa di luar jam pelajaran di sekolah cuma hura-hura melulu dalam arti kata tidak seberapa siswa yang melatih minat dengan keberadaan pustaka, kalaupun ada pustaka di kebanyakan sekolah cuma minim fasilitas dan terkunci melulu. Ini menunjukkan kondisi minat baca yang rendah. Padahal syarat untuk maju musti gemar membaca.
Kondisi minat baca yang rendah pada tingkat SD dan sekolah menengah membawa pengaruh pada tingkat selanjutnya. Tingkat dasar harus menjadi perhatian utama. Karena semakin baik peranan di tingkat dasar ini akan semakin baik pula untuk tingkat selanjutnya. Kalau kita amati kebiasaan membaca yang rendah pada waktu sekolah dasar menyebabkan kebiasaan membaca pada tingkat SLTP dan SLTA rendah pula. Pada akhirnya pada tingkat perguruan tinggi demikian pula dimana mahasiswanya banyak yang kasak kusuk dan tidak percaya diri. Menghadapi masa tentamen (ujian) dengan sistem sopir atau mengandalkan jimat ala anak SMA. Kelak dalam menyelesaikan skripsi dan tesis ban yak yang kelabakan terpaksa comot sana comot sini.
Minat baca yang rendah tentu saja dapat ditingkatkan. Dalam upaya ini penyediaan sarana amat penting di kalangan generasi muda. Membenahi pustaka dengan menyingkirkan tempatkan buku-buku teks yang tidak terpakai dan menempatinya dengan bahan bacaan yang menarik dan merangsang intelektual siswa amat bermanfaat. Sudah sepatutnya pihak sekolah, dan jajaran pendidikan, untuk memikirkan melowongan waktu yang agak panjang agar siswa punya kesempatan untuk menikmati keberadaan pustaka. Kemudian memperkenalkan buku-buku yang bermanfaat kepada anak didik agar mereka dapat mengenal.
Sebab seperti kata-kata romantis “tak kenal maka tak cinta”. Andai kata siswa-siswa (generasi muda) telah mengenal indahnya buku tentu kelak budaya membaca akan dapat terwujud. Kalau membaca telah membudaya tentu harga buku tidaklah menjadi persoalan bagi mereka, sebab bukankah untuk membeli sarana hiburan yang jauh lebih mahal mampu orang tua mereka memenuhinya.
Terakhir, kalau mereka telah membudayakan kebiasaan membaca tentu mereka nanti dapat menjadi siswa-siswa yang unggul yang selanjutnya akan menentukan keunggulan sekolah.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
TINGGALKANLAH METODE KONVENSIONAL
Oleh: Marjohan
Guru SMA Neg.3 Batusangkar
Ramai sekali media massa menulis masalah Sumber Daya Manusia. Begitu pula para pakar telah sama setuju bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia amat diperlukan pendidikan. Dengan arti kata dunia pendidikan memegang peranan yang betul-betul penting. Martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas bangsa itu sendiri. Kualitas suatu bangsa diukur dengan sumber daya manusianya.
Kita sadari bahwa pendidikan, sungguh penting untuk kemajuan bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai bangsa yang berkualitas adalah dengan melaksanakan wajib belajar. Untuk mencapai hal ini Presiden Soeharto telah mencanangkan wajib belajar enam tahun tepat pada hari Hardiknas tanggal 2 Mei 1984. Kemudian untuk percepatan mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sepuluh tahun kemudian, Mei 1994. Presiden mencanangkan lagi wajib belajar sembilan tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar sembilan tahun itu sangat dituntut tenaga pendidik yang betul-betul ahli dalam bidangnya (profesional) agar dapat mengelola pendidikan di lapangan secara baik.
Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan dalam pelaksanaan pembangunan nasional jangka panjang tahap dua, khusus pembangunan sumber daya manusia, kita tidak dapat menutup mata dan telinga terhadap sektor pendidikan kita yang mutunya masih tertinggal itu. Dan orang-orang arif dalam dunia pendidikan di negara ini cukup respon atas berbagai masalah pendidikan. Mereka merekayasa dan melaksanakan berbagai usaha peningkatan dan penyegaran.
Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan dan kita lihat. Begitu pula banyak pembaharuan demi peningkatan mutu yang sudah dilakukan. Mengganti kurikulum yang diikuti oleh perubahan struktur buku-buku pelajaran yang membanjir di pasaran. Membentuk proyek peningkatan kwalitas guru-guru yang dilaksanakan dalam bentuk penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan prasarana bidang pendidikan.
Betapa usaha ini diterapkan melalui pengorbanan moril dan materil. Memberikan keringanan bagi guru-guru, misalnya dengan mengurangi jumlah jam mengajar di sekolah, agar dapat mengikuti penataran apakah dalam bentuk sanggar-sanggar atau bentuk MGMB dan MGBS. Namun usaha-usaha ini belum lagi menampakkan harapan dan pencapaian target. Kita dapat mengetahuinya lewat hasil Ebtanas yang tetap rendah tiap tahun. Dan kita langsung memperhatikan betapa bertambahnya jumlah murid yang mengalami malas. Dari membaca media massa atau langsung melihat fakta yang menunjukkan adanya keruwetan dalam sekolah dan meningkatnya angka kenakalan pelajar.
Barangkali apa yang menyebabkan lambatnya peningkatan kualitas pendidikan ini? Lihatlah proses belajar mengajar di sekolah-sekolah. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru kepada murid barn sampai pada taraf memberi bekal pengetahuan dan keterampilan sebatas sekedar tahu saja. Belum sampai kepada meletakan nilai-nilai wawasan sosial dan kemanusiaan, serta penguasaan bekal hidup yang praktis. Dalam sistem pengajaran kita lihat hubungan guru dan murid ibarat hubungan cerek dan cangkir. Yang satu cuma sebatas memberi dan yang lain sekedar menerima saja.
Atau mungkin karena sistem pendidikan yang diterapkan oleh guru kepada murid bersifat mengulang-ulang dan tidak ada, atau kurang, kreasi dalam mengembangkan pelajaran dan seni mengajarnya. Sama-sama kita perhatikan bahwa masih ada guru-guru yang mana kalau mengajar menggunakan buku dan catatan yang sama sepanjang tahun. Ada pula guru karena kurang menguasai bahan kemudian mengambil strategi mudah, yaitu meringkas isi buku untuk dicatatkan melulu. Atau menghafalkan buku catatan agar besok dapat disajikan ke hadapan murid di dalam kelas. Murid sendiri dapat mengatakan bahwa guru yang demikian ilmunya cuma tua satu malam dari murid. Dan inilah kenyataan yang membuat integrasi guru-murid tetap berjalan macet. Guru sibuk berbicara di depan kelas sedangkan murid asyik melucu atau ngobrol di belakang.
Tampak taraf pengajaran kita untuk menyerap ilmu masih sekedar menyodorkan tugas-tugas hafalan untuk diuji. Sistem komunikasi dalam kelas cenderung satu arah dan murid lebih dominan bersikap yes-man kepada guru. Mengkeritik guru atau beradu argumen seolah dipandang tabu. Mungkin selalu dibelenggu ketakutan karena berdampak pada ancaman pada nilai rapor. Demikianlah ungkap salah seorang murid dalam suatu dialog ringan. Belajar dengan cara menghafal sungguh mematikan kreatif berfikir dan menunjukkan bahwa guru-guru masih menerapkan pengajaran sistem kuno.
Ciri-ciri sistem pengajaran kuno atau konvensional sangat terlihat jelas dalam interaksi guru-murid di sekolah. Diantaranya adalah pendekatan yang masih bersifat otoriter, yaitu bersifat menguasai. Guru menganggap bahwa dirinyalah paling benar. Yang mengharuskan setiap murid menerima apa yang dikatakan. Pernah kejadian pada sebuah sekolah. Seorang murid kritis tergolong pintar mencoba memberi usul atau kritik konstruktif kepada seorang guru bidang studi. Membuat, guru menjadi merah muka dan bukti merasa gembira. Guru itu tampak kesal dan pada akhir semester dia telah menodai rapor murid dengan angka mati. Dia melakukan ini entah karena rasa dendam karena merasa kelintasan akibat ilmunya minus atau semata-mata memperturutkan egois.
Berbicara mengenai metoda pendekatan dalam pendidikan, ada tiga bentuk metode pendekatan yaitu konvensional, progresif dan metode liberal. Sekolah-sekolah kita amat mengenal metode konvensional karena metode itu melekat terus. Sikap otoriter terlihat jelas dalam metode ini.
Beginilah suasana kelas atau sekolah dengan metode konvensional. Kelas dengan jumlah murid yang masih ramai, dan tampak lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Seolah-olah ruang kelaslah yang menjadi wilayah belajar murid, meskipun teori diatas kertas sungguh bagus. Dalam proses belajar mengajar siswa tampak bersikap pasif. Mereka hanya menerima ilmu saja dan dalam memahami pelajaran cenderung untuk selalu menghafal buku catatan. Interaksi guru-murid lebih diwarnai oleh rasa takut, ini menandakan fikiran masih terbelenggu. Dalam penguasaan bidang ilmu seolah-olah guru serba tahu secara mutlak. Ceramah merupakan metode yang lazim diterapkan. Murid-murid kurang terlibat secara aktif dan inilah penyebab suasana kelas dan suasana belajar menjadi serba membosankan. Hampir setiap hari banyak murid yang memboloskan diri. Maka tentu tidak berlaku kalimat yang berbunyi “kelasku adalah istanaku” tetapi yang terjadi hanyalah “kelasku terasa bagaikan penjara”.
Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah lewat sumber daya manusia yang berkualitas pula. Maksudnya untuk memperoleh murid yang berkualitas tentu dibutuhkan pula guru yang, berkualitas. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar peran guru tidak hanya sekedar membantu proses pembelajaran atau sebagai seorang pengambil keputusan instruksional. Tetapi lebih dari itu yaitu guru harus dapat berperan sebagai konselor, motivator dan fasilitator agar proses pembelajaran anak didik tidak asal-asalan saja.
Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas agaknya sederhana saja rumusnya, yakni guru jangan mengajar asal-asalan. Sangat mustahil kalau guru-guru yang demikian dapat bertindak atas nama peningkatan kualitas, berfungsi sebagai konselor, motivator dan fasilitator bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru akan ikut berpartisipasi sempurna dalam pendidikan kalau ia sendiri belum menampakkan, kualitas diri. Untuk itu kita mengharapkan agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri. Andai kata mereka mengikuti penataran atau sanggar, misalnya, janganlah hanya sekedar mengharapkan sertifikat untuk kredit poin, mengharapkan sejumlah kecil maten dan begitu pula jangan hanya bersikap pasif atau sekedar hura-hura. Agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan maka guru harus senantiasa membelajarkan diri, otodidaktif, dan agaknya tidak ada alasan lagi bagi guru untuk selalu berlindung di balik alasan untuk tidak belajar. Sediakanlah waktu setiap hari untuk menyentuh buku-buku yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan berfikir dengan harapan kita semua dapat menjadi gum yang berkualitas agar kita dapat mendidik murid-murid menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan
Oleh Marjohan
Guru SMA Neg 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com
RATA-RATA pustaka sekolah dikelola secara serampangan karena disebabkan banyak faktor. Dalam suasana sekolah dua shift dengan jam istirahat sangat kasib membuat murid-murid enggan untuk berkunjung ke pustaka. Sebab mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk membolak balik buku dan menilai bacaan-bacaan yang lain. Murid-murid lebih senang untuk menggunakan waktu istirahat yang jumlahnya Cuma beberapa belas menit saja untuk pergi ke kantin atau bersenda gurau untuk sekedar menarik nafas segar di luar pustaka.
Hanya ada segelintir murid saja bila dibandingkan dengan total populasi sekolah. Murid-murid itu pun mengunjungi pustaka karena merasa kebingungan, tidak punya duit lagi untuk pergi ke kantin dan tidak punya teman yang sreg untuk bersenda gurau. Kecuali satu atau dua orang murid saja yang mempunyai niat untuk mengunjingi pustaka.
Tidak hanya murid, guru-guru pun jarang terlihat yang mengunjungi pustaka. Kalau ditanya “mengapa” maka jawaban yang paling-paling kita dengar adalah tidak ada waktu atau tidak ada kesempatan. Dan ini adalah sebuah jawaban tradisionil.
Salah satu dari penyebab hilangnya gairah guru dan murid mengunjungi pustaka karena pustaka yang berfungsi tempat koleksi buku-buku ternyata miskin dengan koleksi buku kecuali yang dapat ditemukan di perpustakaan adalah tumpukan buku-buku teks pelajaran dan buku-buku terbitan Pusat Pembukuan Depdikbud dan PN. Balai Pustaka. Seolah-olah perpustakaan sekolah bukanlah tempat gudang ilmu tetapi tepatnya perpustakaan sekolah adalah tong sampah bagi pembuangan buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan buku-buku keluaran Pusat Perbukuan Depdikbud.
Kedengarannya amat sinis. Tapi ini adalah kalimat yang dilontarkan oleh seorang petugas pustaka yang merasa putus asa atau frustasi melihat perkembangan pustaka yang tidak pernah menggairahkan. Paling kurang menurut visi petugas pustaka tadi.
Sebetulnya ini adalah suatu kenyataan. Kalau kita mengunjungi beberapa pustaka sekolah, kecuali kalau petugas pustaka menumpuknya dalam gudang, kita akan menemukan deretan buku-buku teks yang diterbitkan pemerintah masih utuh. Dan rata-rata buku-buku itu berdebu dan hampir tidak terawat. Malah ada inisiatif dari petugas pustaka yang suka iseng untuk menjualnya secara kiloan untuk kertas pembungkus teri di tengah pasar. “Sungguh sayang bukan,” katanya, dari pada buku-buku itu ditumpuk atau dibakar maka lebih baik dijual dan uangnya dapat dimanfaatkan untuk pembeli sabun cuci. Sungguh ini merupakan suatu pelecehan atas buku dan ilmu. Apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan pemerintah, Depdikbud, tentu berkisar sampai puluhan miliar rupiah dan berakhir dalam bentuk pemborosan dana negara yang amat sia-sia.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi, apakah buku-buku ini diluncurkan tanpa rencana?
Untuk mendapat jawabannya tentu kita dapat menemui berbagai pihak, terutama guru-guru dan petugas pustaka sebagai orang lapangan yang langsung berkecimpung menghadapi buku-buku teks tersebut.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud dibuat asal jadi saja, komentar seorang guru Bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh buku-buku paket (buku teks) agak kaku dan penampilannya sangat formal dan tidak sesuai dengan selera murid yang berusia remaja. Untuk buku Bahasa Indonesia, misalnya, tidaklah tepat kalau disusun oleh ahli bahasa saja tetapi juga diikutsertakan unsur dari sastrawan agar bahasa buku ini enak dicerna dan menarik untuk dibaca.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud bersifat “teacher-centered”. Maksudnya buku-buku itu musti ditelaah dulu oleh guru dan baru disampaikan uraiannya pada murid. Sering kita dengar murid merasa susah untuk memahami isi buku dan jenuh dengan gaya bahasanya. Melihat sistem belajar orang kita yang cenderung menghafal dan buku mentelaah isi buku maka guru suka memanjakan murid dengan cara meringkaskan isi buku untuk dapat dihafalkan bila ada ujian. Akibatnya jadilah murid-murid ibarat sapi suci agama Hindu di India yang mengunyah-ngunyah kertas berisi tulisan, menelannya dan mengeluarkan dalam bentuk kotoran tanpa pernah singgah di dalam kepala. Begitu pula bagi guru karena tidak menguasai materi pelajaran, membuat keringkasan dan menghafalnya. Akibatnya jadilah guru itu dengan ilmu tua semalam dari murid.
Kebiasaan guru yang suka meringkas isi buku dan mencatatkan kepada murid, secara dikte agar dapat mengefektifkan jam tatap muka atau menyuruh seorang murid mencatatkan di papan tulis sampai tangannya pegal-pegal, membuat buku-buku paket keluaran Depdikbud tetap utuh di perpustakaan. Disamping itu yang membuat buku-buku paket tetap menumpuk di Pustaka adalah rasa acuh tak acuh guru terhadap keberadaan pustaka. Sehingga guru tersebut tidak tahu kalau-kalau buku pendamping buku paket lain, untuk memperkaya wawasan murid, telah datang ke pustaka. Malah kalaupun tahu ada buku baru, banyak guru tidak memperdulikan karena tidak suka bersusah-susah payah. Sehingga kita lihat buku-buku penunjang lain semakin berdebu saja di pustaka.
Hal ini yang membuat guru enggan menggunakan buku paket, dengan akibat menyuruh murid-murid untuk membeli buku-buku pasaran, akibat materi buku paket Depdikbud tidak persis sama dengan isi GBPP sesuai dengan persepsi guru masing-masing atau materi pelajarannya melompat-lompat. Misal, pelajaran yang seharusnya untuk kelas tiga tetapi terdapat pada buku kelas dua.
Masih ada alasan pribadi lain yang membuat buku paket keluaran Depdikbud dan PN. Balai Pustaka terabaikan. Sehingga tetap menumpuk-numpuk di perpustakaan.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, LKG, SPKG dan lain-lain adalah ajang mendiskusikan, mana buku-buku yang bermutu, diantara guru-guru peserta sanggar. Maka sering penilaian mereka jatuh kepada buku pasaran sebagai buku, yang berkwalitas karena mudah untuk dicerna sehingga buku paket pemerintah semakin menempati urutan belakang. Barangkali buku-buku pasaran itu laris karena tujuannya komersil maka ia dirancang secara profesional. Apakah dari segi perwajahan buku, ilustrasi, gaya bahasa dan sampai kepada ukuran buku yang menyerupai buku populer karena desainnya menarik. Disamping itu karena dalam sistem kenaikan pangkat sekarang yang memberi penilaian kepada guru yang kreatif membuat buku atau LKS. Maka guru inti yang kreatif dan yang memiliki orientasi kepangkatan dan orientasi ekonomi segera merancang buku apakah dengan cara mengedit, yakni dengan caplok sana caplok sini. Maka jadilah sebuah buku atau LKS yang menarik setelah keluar dari percetakan lokal. Kemudian mereka, guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru pengikut sanggar agar sekolah mereka menggunakan buku atau LKS yang ditulis oleh guru-guru inti. Inipun membuat buku paket semakin terpojok kedudukannya.
Alasan kekurangan atau kesulitan ekonomi juga membuat guru-guru bidang studi berbisnis buku dengan cara mengambil buku kepada agen pemasaran buku untuk dijual kepada murid-murid dengan janji bahwa kalau terjual maka keuntungan 20 sampai 30 persen adalah untuk guru bidang studi yang telah berjasa tadi. Suatu keuntungan yang lumayan yang membuat guru dapat tersenyum manis. Tetapi ini dapat menelantarkan buku-buku paket sebagai buku utama.
Pada umumnya buku-buku paket yang menumpuk di perpustakaan sekolah adalah buku-buku paket dalam kurikulum lama. Tetapi sebagian besar, ketika kurikulum lama masih berlaku, buku-buku paket itu telah ada juga yang menumpuk-numpuk dan berdebu di perpustakaan.
Sekarang bagaimana dengan keadaan atau nasib buku-buku paket yang ditulis seusai dengan kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru, ., ini?
Dari buku-buku paket terbitan PN. Balai Pustaka atau yang diluncurkan oleh Pusat Perbukuan Depdikbud kita telah melihat kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Pada umumnya buku-buku sudah dirancang dengan perwajahan yang cukup menarik dan penjilidan yang cukup kokoh sehingga tidak memungkinkan lagi lembaran halaman buku-buku mudah lepas dan bertebaran. Tetapi dari awal-awal tahun berlakunya kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru telah terlihat pula gejala bahwa buku-buku ini mengalami nasib serupa dengan buku-buku paket kurikulum lama yakni ditumpuk-tumpuk dalam perpustakaan. Pada hal buku-buku ini dengan modal puluhan miliar rupiah sengaja dirancang untuk membantu orang tua murid dan sekaligus menyukseskan program pengajaran yang telah dirancangkan oleh pemerintah kita. Tetapi sekarang dimana letak salah dan letak penyebabnya.
Karena tujuannya betul-betul komersil maka penerbitan swasta dalam naungan IKAPI, dan sebagian buku-buku yang dipasarkan ada yang telah disahkan oleh Dirjen Dikdasmen, melihat bahwa sekolah-sekolah adalah pasar yang potensial untuk mencari keuntungan. Maka mereka mempelajari kelemahan buku yang diluncurkan pemerintah dan juga mempelajari selera guru dan murid sebagai konsumen mereka.
Seorang penyalur buku pelajaran dari penerbit swasta mengatakan bahwa yang membuat buku-buku keluaran penerbit mereka laris seperti kacang goreng adalah karena adanya kesan “pandangan pertama” terhadap buku-buku yang mereka pasarkan dan kesan ini tidak dimiliki oleh buku paket yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kesan buku terbitan non pemerintah yaitu bentuknya pop, mungkin bahasanya adalah bahasa populer dan ukuran disajikan seperti majalah remaja, dan ukuran buku itu cukup tipis sehingga mendatangkan kesan enteng untuk dibaca dan dicerna. Kemudian ditambah dengan unsur pelayanan dari agen pemasaran yang menyebar dan mengunjungi setiap sekolah. Disana mereka mempengaruhi guru-guru bidang studi dan menunjukkan keunggulan buku-buku mereka sehingga membuat guru betul-betul merasakan adanya kemudahan-kemudahan terhadap buku pasaran itu. Misalnya buku pasaran menyajikan uraian, rata-rata dengan cara mengunyah-ngunyahkan materi dan menyuapkannya ke dalam mulut murid, terasa mudah untuk dicerna oleh guru dan murid. Malah tanpa adanya kehadiran guru, murid sendiripun juga dapat melakukan instruksi pelajaran dalam buku pasaran. Betul-betul pendekatannya bersifat “student-centered”. Sedangkan buku terbitan pemerintah memuat uraian yang bersifat umum sehingga murid musti mengerutkan dahi agar dapat memahaminya seorang guru harus meringkaskan isi buku terlebih dahulu. Terasa oleh kita penyajian buku pasaran juga bersifat memanjakan murid atau memanjakan pendidikan yang bersifat menghafal. Sedangkan buku terbitan Balai Pustaka dan Depdikbud lebih mendorong guru dan murid untuk menelaah isi buku dan mengembangkan sikap “menganalisa” dan bukan sikap menghafal.
Kita rasa karena penyebaran buku pelajaran pasaran dikemas secara potensial dengan tujuan komersil yaitu dengan mengirim agen-agen pemasaran sampai menemui setiap guru bidang studi telah dapat mempengaruhi mereka dan membuat mereka berpaling dari buku terbitan Depdikbud. Pada sebuah SMA yang didatangi oleh agen penyaluran buku kita akan dapat melihat transaksi antar guru dan agen untuk mengambil pesanan buku untuk dapat disebarkan pada beberapa kelas dengan jumlah total murid diatas seratus orang dengan janji kelak 20 atau 30 persen keuntungan adalah untuk ibu atau bapak guru. Sementara dihadapkan guru itu sendiri tergeletak onggokan buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru yang diterbitkan oleh pemerintah tetapi sebentar lagi bakal masuk atau digusur kembali ke dalam pustaka sebagai tong sampah tempat pembuangan. Ketika ditanya “kenapa buku pasaran atau LKS ini yang dipakai dan buku paket Depdikbud dikembalikan ke Pustaka”. Jawabannya adalah karena LKS atau buku itu lebih tipis dan lebih praktis untuk dipakai dalam proses belajar mengajar di kelas. Tampaknya guru-guru kita ingin mengajar asal enteng saja.
Dapat kita lacak bahwa yang membuat buku paket keluaran Depdikbud terabaikan dan buku pelajaran yang diproduksi oleh swasta begitu laris karena adanya perbedaan dalam pelayanan. Dimana buku swasta langsung datang dipasarkan ke sekolah-sekolah dan melayani guru-guru. Disamping itu ada kalanya karena faktor keterlambatan datang buku-buku paket pemerintah. Dimana tahun pelajaran telah berjalan sekian minggu, dan malah sampai satu bulan, maka buku paket baru datang. Tentu saja kekosongan buku diisi oleh buku swasta meski dengan cara menguras kantong orang tua murid yang rata-rata banyak yang kurang mampu. Dimana mereka harus mengeluarkan uang yang banyak untuk setiap bidang studi di sekolah dan untuk sekian orang anak-anak merasa yang menjadi tanggung jawab mereka.
Kita merasa khawatir kalau-kalau buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru . ini mengalami nasib yang sama dengan buku paket Depdikbud dalam kurikulum lama. Maka agar buku paket ini tidak ditumpuk di perpustakaan, sebagai ton sampah, tempat pembuangan buku-buku paket atau buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan terbitan Pusat Perbukuan Depdikbud untuk itu kita mohon kepada pihak-pihak yang terkait untuk melakukan antisipasi dalam rangka kita dapat memanfaatkan buku-buku yang telah diciptakan dengan dana besar demi kemajuan bangsa kita ini juga.
MASIH ADAKAH ANAK DIDIK YANG MENGIDOLAKAN PAHLAWAN
Oleh Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar SUMBAR
SUDAH milyaran rupiah dana yang dihamburkan agar penataran dan pelatihan untuk memantapkan rasa kebangsaan dapat terwujud. Disamping itu media massa, lewat media cetak dan media elektronik, juga diserutkan agar segenap generasi muda dapat memahami arti semangat perjuangan 45.
Semangat perjuangan 45 adalah semangat yang tidak mengenal istilah pantang mundur demi meraih kemerdekaan. Malah nyawa, harta dan keluarga adalah taruhannya. Bagaimanakah semangat generasi kita seputar tahun 2.000 ini? Tanpa mengadakan penelitian yang akan membuang-buang waktu dan dana kita dapat mengatakan bahwa rata-rata generasi muda sekarang banyak yang tidak memiliki semangat perjuangan.
Andaikata kita pajangkan sederet nama mulai dari nama artis sinetron, olahragawan sampai kepada nama tokoh pahlawan yang telah berjasa banyak bagi bangsa ini. Maka artis dan olahragawan kerapkali sebagai tokoh Idola mereka yang utama dan para pahlawan sering sekedar idola pelengkap saja. Sebetulnya tidak salah kalau generasi muda termasuk anak didik kita menjadikan para artis dan olahragawan sebagai idola mereka, tidak mengapa bila tokoh-tokoh idola mereka baik luar-dalam. Maksudnya penampilan luarnya sama baik dengan karakter mereka yang sesungguhnya. Sekarang yang kita pertanyakan adalah apakah masih ada kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa kita ini?
Cukup kagum juga kita, dari membaca koran dan majalah, bahwa di luar negeri, seperti Amerika, masih ada generasi muda mereka, yang mempunyai kontak batin dengan pahlawan yang telah terpisah selama puluhan generasi atau ratusan tahun. Mereka masih kenal baik sehingga dalam pembicaraan harian, mereka pun mengutip kalimat yang pernah diungkapkan oleh pahlawan bangsa mereka. Penyebaran buku-buku biografi adalah salah satu faktor pembentuk tetap adanya hubungan batin antara mereka dengan para pahlawan.
Bagaimana kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa? Rata-rata, kecuali sebagian kecil, Cuma sebatas mengenal nama mereka saja. Oh, kalau Sisingamaraja itu berasal dari tanah Batak, Imam Bonjol dari daerah Minang dan Pangeran Diponegoro berasal dari daerah anu …! Atau anak didik kita Cuma dapat mengenal tahun-tahun saja. Bahwa Sukarno, Presiden RI pertama dan tokoh Proklamator, lahir tahun sekian dan Kihajar Dewantara mendirikan sekolah itu tahun sekian. Dan bisa jadi generasi muda sekarang hanya mengenal pahlawan hanya sebatas nama, karena nama-nama jalan juga mengabaikan nama-nama para pahlawan. Oh, itu jalan Pattimura dan ini jalan Rang Kayo Rasuna Said dan yang lain adalah jalan R.A Kartini, Jalan Teuku Umar, Jalan Haji Agus Salim, Jalan Sukarno-Hatta atau jalan Prof. Dr Hamka, dan lain-lain. Tetapi mereka kemungkinan tidak pernah tahu bahwa Rang Kayo Rasuna Said itu adalah pejuang wanita dari ranah Minang yang merupakan wanita pertama yang masuk ke dalam bui karena perjuangan bangsa. Atau mereka kurang mengetahui bagaimana Muhammad Hatta, Haji Agus Salim dan Hamka bergelut dengan buku-buku untuk menuntut ilmu demi perjuangan kemerdekaan bangsa. Atau bagaimana Sukarno berlatih berpidato di kegelapan malam semasa kecil dan Raden Ajeng Kartini beserta adik-adiknya berjuang menentang adat yang kolot demi membebaskan kaum wanita dari belenggu kebodohan untuk memperoleh emansipasi dan harga diri.
Pokoknya cukup sederhana pengetahuan anak didik kita tentang para pahlawan yakni sebatas nama, tahun-tahun kejadian dan daerah asal mereka. Mereka memperoleh itu lewat hafalan dan kemudian secara pelan-pelan melupakan apa yang dihafal sebelum sempat dijiwai sampai pada akhirnya para pahlawan itu terlupakan dan terputus dalam kontak batin. Kalau begitu siapakah yang bertanggung jawab atas masalah ini? Tentu saja kita semua, para guru-guru, akibat metode proses belajar mengajar yang salah kaprah.
Sebetulnya selain lewat proses belajar mengajar di sekolah anak didik masih dapat mengenal para pahlawan lewat media masa seperti televisi, majalah dan koran-koran. Tetapi acara-acara kepahlawanan sering kalah menarik dibandingkan dengan acara hiburan dan film-film. Sehingga anak-anak didik kita di rumah memperhatikannya tidak dengan sepenuhnya hati dan malah meninggalkan acara tersebut. Begitu pula kerapkali anak didik lebih tertarik dengan membaca gosip para bintang film dan mengabaikan biografi para pahlawan kalau ada. Walau tidak semua anak didik yang berbuat begitu.
Agaknya anak didik kita cukup peka juga. Mereka dapat mengatakan bahwa pelajaran yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan pahlawan kepada mereka adalah seperti pelajaran PSPB, Sejarah, Agama, KWN, Tata Negara dan Bahasa Indonesia. Dan tentu pada umumnya seluruh guru-guru juga bertanggung jawab untuk memperkenalkan para pahlawan kepada anak didik sebagai generasi muda.
Suatu hari ketika ditanya, kepada murid tentang metode proses belajar mengajar yang baik dalam rangka mempelajari dan mengenal tokoh-tokoh pahlawan lewat mata pelajaran yang kita sebutkan di atas. Maka murid mengatakan bahwa metode yang terbaik adalah guru mencatatkan ringkasan pelajaran dan kemudian menerangkan pelajaran atau sebaliknya guru menerangkan pelajaran kemudian baru mencatatkan keringkasan yang telah dibuat guru.
Karena anak didik telah terlatih menjadi “beo” atau menerima saja apa yang telah disuguhkan guru lewat cara menghafal ibarat sapi agama Hindu” di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang berisi tulisan dan kemudian dikeluarkan lewat kotoran tanpa singgah di kepala, telah menyukai metode ini. Pada hal metode ini adalah metode yang salah kaprah karena dapat mematikan kreatifitas berfikir anak didik. Sedangkan orang-orang dari negara maju telah lama meninggalkan metode proses belajar mengajar seperti ini. Namun kita dalam saat-saat menjelang tahun 2000 ini masih ada yang terpaku pada metode ini.
Cukup banyak ragam metode salah kaprah ini. Ada guru yang bercerita mengelantur kesana kemari tentang tokoh-tokoh pahlawan di dalam negeri dan di luar negeri, tanpa jelas salah benarnya, kemudian pada akhir pelajaran mencatatkan keringkasan yang telah dibuat oleh bapak atau ibu guru. Ada lagi guru yang setiap kali masuk kelas selalu menyuruh murid-murid untuk meringkaskan isi halaman dari sebuah buku dan dia sendiri duduk dengan enaknya di depan kelas sampai kuap-kuap atau untuk menghilangkan rasa kantuk karena bosan dalam mengajar sengaja pergi ke ruangan majelis guru untuk mengobrol atau bergosip mulai dari masalah umum sampai kepada masalah rumah tangga. Begitu pula bagi guru yang tidak menguasai pelajaran sama sekali amat sudi untuk mendiktekan seluruh isi buku pada hal tidakkah baik kalau murid disuruh saja membeli buku atau memfoto kopi saja. Tetapi ada kalanya guru melarang siswa untuk membeli buku dan kalaupun punya buku tetap harus mencatat sebab akan diambil nilai kerajinan atau catatan bakal diperiksa. Dan masih ada seribu satu metode yang mirip dengan metode yang salah kaprah begini.
Memperkenalkan para tokoh pahlawan lewat proses belajar mengajar adalah sangat ampuh untuk menangkal agar anak didik tidak tercabut dari akar budaya dalam arti mereka tidak melupakan pahlawan bangsa. Tetapi pelaksanaan proses belajar mengajar tidaklah sesederhana metode yang di atas tadi. Idealnya setiap guru, terutama guru, KWN, Agama, Sejarah dan Bahasa Indonesia dari sekolah dasar dan bagi pelajaran yang terkait di tingkat SLTP dan SLTA harus menguasai topik-topik pelajaran yang bukan sekedar hafalan belaka untuk mengajar murid menjadi beo. Malah sangat ideal lagi kalau guru-guru, lebih tepat lagi guru-guru mata pelajaran Sejarah KWN, , juga membaca buku-buku biografi tanpa terlebih dahulu berlindung dibalik alasan. Kita sering mendengar, tidak hanya guru wanita tetapi juga guru yang senantiasa mengungkapkan tidak punya waktu untuk membaca guna untuk menambah ilmu.
“Wah saya tidak punya waktu karena sibuk dengan kerja di rumah, sibuk karena anak mengganggu, tak sempat karena rumah jauh, tak sempat membaca karena saya mempunyai jam mengajar sangat banyak, dan lain-lain”. Sering alasan-alasan kuno ini kita dengar dari rekan guru-guru yang mana mereka senantiasa mengungkapkan kesibukan mereka di luar kegiatan mengajar seolah-olah mereka lebih sibuk daripada menteri atau negarawan lain. Pada hal Menristek, B.J. Habibie yang memiliki segudang jabatan dan pekerjaan atau KH Zainuddin MZ, ulama sejuta umat.
Mereka juga mempunyai rumah tangga dan anak-anak, disamping tanggung jawab terhadap pekerjaan yang banyak tetapi tetap mempunyai waktu untuk belajar atau menambah ilmu. Bagi sebagian rekan guru-guru yang selalu berlindung dibalik alasan “sibuk” ternyata untuk nongkrong di warung kopi atau untuk bergosip tanpa mereka sadari mereka telah menghabiskan waktu selama berjam-jam terbuang percuma.
Pengenalan tokoh-tokoh pahlawan kepada anak didik lewat proses belajar mengajar merupakan sarana yang tepat karena disana anak didik terkondisi dengan bersyarat dengan imbalan nilai sebagai titik awal. Maka tentu ada usaha-usaha lain yang positif agar anak didik lebih mengenal para pahlawan. Misalnya memberikan tugas untuk membuat sinopsis dari biografi-biografi pahlawan. Begitu pula menugaskan murid untuk membuat resensi dari sebuah buku yang mengandung biografi seorang pahlawan. Agar anak didik tidak asal tulis atau mungkin memalsukan karya tulis orang lain. Maka ada baiknya guru mengujikan atau menyuruh murid untuk mempresentasikan di depan kawan-kawannya sambil melatih keberanian mereka untuk tampil di depan umum.
Melowongkan waktu bagi guru dan murid untuk dapat membaca setiap buku biografi sangat besar manfaatnya. Selain untuk menambah wawasan juga sebagai sarana untuk “cermin diri” untuk memacu prestasi dan untuk mencari idola sebagai jati diri kita dalam rangka mengembangkan kwalitas diri. Semoga.
Nilai Obralan Meruntuh Wibawa dan Kualitas Pendidikan
Oleh Marjohan
SMA Negeri 3 Batusangkar
Kita masih ingat bahwa dulu saat fenomena bahwa kantor-kantor pemerintah dan swasta mengumumkan nilai rata-rata paling rendah 7, sebagai syarat mengikuti ujian kepegawaian. Dan sebelum penilaian dengan “NEM” dilakukan, sebelum tahun akademik 1985/1986, banyak orang mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang kikir dalam memberikan nilai. Guru-guru sendiri kadang-kadang suka mikir-mikir dua kali untuk memberikan nilai angka enam saja kepada muridnya.
Tetapi semenjak pemerintah membuat persyaratan rata-rata nilai tujuh ke atas sebagai penentuan seleksi pegawai maka itulah titik awal dari pengobrolan nilai yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan alasan sekadar untuk menolong murid agar mereka tidak menjadi pengangguran di tengah masyarakat.
Ketentuan persyaratan ini dapat bernilai negatif atau positif sesuai dari kaca mata kita memandang. Kita beranggapan baik bahwa dengan persayaratan nilai minimal tujuh untuk diterima untuk bekerja maka diharapkan agar anak-anak didik bersemangat dan berpacu dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dari kacamata negatif seolah-olah syarat ini memancing kolusi-kolusian demi meraih nilai, menggerogoti tubuh pendidikan.
Sekarang bagaimana wajah penilaian terhadap lulusan sekolah, misalnya lulusan SMP dan SLTA? Setiap siswa memiliki nilai ganda, yaitu nilai pada ujian yang rata-rata cukup tinggi dan nilai yang tertera pada NEM yang sering memalukan siswa sendiri untuk mengungkapkannya. Jarang sekali penilaian ini yang sinkronis. Idealnya bukankah anak-anak yang memiliki NEM tinggi juga memiliki nilai ijazah tinggi.
Setelah munculnya penilaian lewat “NEM” atau sekarang diistilahkan dengan Standar kelulusan maka tampaknya ijazah kehilangan harga diri. Orang sudah terlanjur percaya kepada kehadiran NEM atau standar angka kelulusan , pada hal NEM itu sendiri memiliki dimensi banyak. Kita katakan dia berdimensi banyak karena NEM itu sendiri dapat diotak-atik oleh orang-orang tertentu.
Sudah terlalu sering media massa menyingkapkan adanya kasus jual beli NEM. Malah pada tiap sekolah, kemungkinan, harga diri sekolah diukur lewat NEM. Maka agar NEM sekolah tinggi maka saat ujian berlangsung dibuatlah aturan main. Ada sekolah yang sengaja membuat suasana ruang ujian begitu padat yang mana idealnya dalam satu deret mesti berderet sampai lima atau enam. Dan kalau ditanya “kenapa begini?” Maka alasannya adalah karena kekurangan kelas. Padahal di balik alasannya itu adalah karena peningkatan mutu yang palsu.
Ada pula sekolah yang membuat aturan, tempat bangku peserta Ebtanas selang seling antara siswa bodoh dengan siswa pintar. Dengan tujuan yang pintar dapat membantu temannya yang lemah. Dan apakah ini betul-betul cara penolongan yang baik? Malah legalisasi dan dikelola pula oleh sekolah. Apakah ini suatu fenomena peningkatan mutu pendidikan atau malah sebaliknya?
Menolong siswa dengan cara yang naif ini juga banyak dilakukan oleh guru-guru bidang studi yang kebetulan bidang studi itu di-UAN’kan. Ya kalau panitia ujian itu kebetulan guru bidang studi sendiri, atau ia datang saat ujian dengan dalih lain, padahal ikut menjawab lembaran ujian dan menyebar kunci jawaban kepada anak-anak yang keluar dengan alasan ingin ke kamar kecil atau pura-pura ingin membuang ingus padahal menyabet kunci ajaib yang telah ditebar guru. Hal ini dilakukan agar bidang studi yang ia ajar tinggi dan ia tetap dianggap pintar mengajar dan bukan sebagai guru yang “goblok”. Dan masih banyak lagi kasus-kasus pelecehan penilaian ini dengan alasan kalau diungkapkan dapat merusak nama baik guru, atau nama baik sekolah. Kalau pelecehan ini terungkap dapat meruntuhkan wibawa instansi kita. Demikian komentar-komentar pembelaan yang sering diungkapkan agar berita tidak meluas.
Memang sekarang pengobralan nilai telah terlalu lumrah untuk dijumpai dalam lingkungan sekolah Kurva normal dalam penilaian yang dipelajari di perguruan tinggi hanya menjadi kenangan manis pendidikan dari sekolah rendah, dan barangkali juga sampai ke perguruan tinggi.
Kalau ada murid atau orang tua murid yang berkunjung ke rumah dan membawa oleh-oleh maka nilainya akan aman. Kalau ada murid yang lincah, ramah dan manis maka nilai enam atau tujuh itu sudah berada di tangan. Begitu pula bila ujian telah usai maka rapor akan ditulis. Banyak yang datang kepada wali kelas, apakah guru atau teman wali kelas, memohon pengertian agar rapornya mesti bagus. Soalnya siswa yang bersangkutan akan dibawa oleh pamannya untuk bekerja di sebuah perusahaan. Pokoknya sekarang setiap usai ujian caturwulan adalah mengemis untuk memperoleh nilai dambaan. Sekarang suasana ujian tidaklah merupakan hal yang sakral. Apakah belajar dengan penuh semangat ditemani secangkir kopi pahit, pada malam-malam sekitar musim ujian. Atau santai-santai saja toh hasilnya akan sama jika “jimat” dibuat cukup rapi dan guru-guru pengawas cuek bebek saja malah suka mengobrol atau terkantuk-kantuk selama mengawas ujian.
Kita rasa kelonggaran dalam mengawasi ujian susah berurat berakar di sekolah-sekolah. Tidak hanya pada sekolah yang berlokasi di pedesaan, malah pada sekolah perkotaan yang sering dicap dengan sekolah berkualitas sering suasananya centang-prenang saat musim ujian. Kertas-kertas jimat bertebaran dimana-mana. Bangku dan dinding kelas pun juga bisa dijadikan jimat bila telah ditulis dengan isi catatan pelajaran. Barangkali beginilah akibat ujian dari cara menghafal dimana siswa merasa terpaksa memindahkan isi catatan ke dalam kepala untuk diujikan selama ujian dan dilupakan setelah itu. Persis ibarat lembu-lembu suci di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang ia temukan dan mengeluarkannya kemudian dalam bentuk kotoran tanpa pernah menyimpannya di dalam kepala.
Dalam manajemen kita mengenal bahwa penilaian atau evaluasi amat penting untuk mendapatkan umpan balik. Dari penilaian dapat diketahui bagaimana hasil usaha yang telah dilakukan agar kita dapat melakukan follow up (kelanjutan). Namun kalau penilaian kita lakukan secara acak-acakan sebagai permainan anak kecil, hasil apa yang akan kita harapkan. Dan ini memang adalah kenyataan bahwa penilaian di sekolah-sekolah banyak dilakukan sebagai persyaratan saja.
Ada juga penilaian yang dilakukan oleh guru-guru dengan pendekatan objektif tetapi kemudian dikatrol setinggi mungkin. Malah kelupaan dalam mengatrol bisa jadi nilai siswa yang lemah sama tinggi dengan siswa yang unggul. Malah karena siswa bodoh tadi lincah dan aktif ia pun bisa menjadi pemuncak di kelas dan siswa yang merasa berhak karena betul-betul pintar terpaksa gigit jari dengan gerutu protes dalam hati.
Kita sangat yakin bahwa pengobralan nilai dapat meruntuhkan wibawa dan kualitas dunia pendidikan. Kalau penilaian diharapkan dapat untuk memperoleh umpan balik dalam peningkatan mutu maka tentu ada baiknya kita tinjau kembali semua kebijaksanaan. Termasuk semua yang membuat dan ikut mempengaruhi keobjektifan atau kemurnian penilaian.
Dalam hal ini harapan kita patut kita sampaikan kepada lembaga pemerintah, BUMN dan lembaga swasta agar tidak mengumumkan ketentuan penerimaan tenaga pegawai NEM atau ijazahnya mesti disyaratkan tujuh. Barangkali ada cara lain dalam kriteria penerimaan dan dalam hal ini tentu banyak orang yang tahu.
Atau mungkin ada baiknya dibuat suatu penelitian untuk meluncurkan suatu persyaratan. Agar masyarakat kita yang banyak mempunyai emosi yang tidak stabil tidak salah dalam beramal. Begitu pula terhadap perangkat pendidikan seluruhnya agar lebih dewasa dan objektif.
SDM Diperbindangkan Guru Tinggalkan Tugas
Oleh Marjohan
Guru SMA Neg. 3 Batusangkar
DALAM menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua ini orang, khususnya bangsa Indonesia, sangat sadar akan peranan dan keberadaan sumber daya manusia. Media masa ramai memberitakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Berbagai lembaga pendidikan dan non pendidikan sibuk mengadakan acara pelatihan, ceramah, seminar dan acara lain dengan satu tema yaitu meningkatkan kwalitas sumber daya manusia.
Tetapi saat orang ramai membicarakan tentang sumber daya manusia, masih banyak kita menemui guru-guru yang rela untuk meninggalkan tugas mengajar tanpa merasakan adanya beban mental sedikit pun. Guru-guru yang berbuat seperti ini persentasenya di sebuah sekolah memang tidak seberapa. Tetapi apabila dikumpulkan jumlah oknumnya dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi dan dari sekolah yang berdomisili di desa sampai di kota, tentu akan memperlihatkan suatu angka yang dapat menggoncang wibawa dunia pendidikan ini.
Untuk memperoleh jawaban yang tepat atas perilaku oknum guru yang begini, agak sulit tetapi dari gejala luar yang mereka perlihatkan dapat diperoleh sejumlah kesimpulan atau alasan. Alasan yang membuat masih ada guru yang meninggalkan tugas adalah seperti: tidak menguasai materi pelajaran; tidak memahami perkembangan jiwa pelajar, masalah pribadi dan masalah interen sekolah.
Ada usaha positif yang telah ditempuh oleh kalangan pendidik untuk meningkatkan penguasaan materi pelajaran. Usaha positif tersebut adalah mengadakan penyegaran kepada guru-guru untuk aktif dalam MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) dan penataran-penataran pada tingkat regional rendah sampai regional tinggi.
Kita sadari bahwa MGMP dan penataran-penataran hanyalah bersifat sebagai perangsang bagi guru untuk memacu kualitas diri. Namun yang sering dijumpai adalah sebagian peserta hanya bersikap hura-hura dan malah hanya bersikap hura-hura dan malah hanya sekedar mengejar sertifikat untuk bahan kenaikan pangkat. Guru yang sering juga dikatakan sebagai katalisator, pendorong untuk mempercepat perkembangan, bila tidak membelajarkan diri (autodidak) tentu akan tetapi ilmunya lebih tua satu malam dari murid akan klengpengkong dalam mengajar dan menguasai ruangan kelas.
Menguasai pelajaran saja tetapi sempit wawasan dan tidak memahami perkembangan jiwa pelajar akan membuat penyajian terasa kering. Guru yang masih tetap mahal senyum pada jam-jam pelajaran terakhir akan menimbulkan kontra yang makin melebar antara guru dan siswa. Perlu untuk diketahui bahwa sedikit saja kita tertutup dan merenggangkan diri tentu anak-anak didik tak ada tempat bergantung. Mereka melarikan jiwa dan guru mereka tidak kerasan, kemudian meninggalkan tugas mengajar dengan membuat alasan yang dibuat-buat.
Ada pamer. Lelucon, guru-guru atas kebosanan menghadapi kelas. Mereka membagi waktu yang satu jam atas empat bagian. Pas lonceng masuk berbunyi guru mondar-mandir seperempat jam; kemudian masuk dan mengambil absen selama seperempat jam’ dilanjutkan guru marah-marah selama seperempat jam. Tinggal waktu lagi seperempat jam dan digunakan untuk mencatat buku sampai penuh, sebagai kepanjangan dari istilah CBSA.
Masalah pribadi sering menyebabkan guru meninggalkan tugas dengan enteng. Selain masalah berat yang dapat diterima adalah masalah ringan yang sengaja diberat-beratkan. Penyakit-penyakit ringan seperti masuk angin, flu dan batuk ringan sering sebagai penyebab guru terpaksa meninggalkan tugas mengajar. Padahal tepat pada tanggal-tanggal baru mengambil gaji walau mereka sedang lumpuh kakinya sempat datang ke sekolah untuk menandatangani amprah gajinya.
Namun bila ada guru yang meninggalkan tugas mengajar karena masalah interen sekolah, tentu ini dapat ditinjau toleransinya. Yang bisa berkaitan dengan hal ini adalah seperti: Kepala sekolah yang perhatian dan kasihnya tidak merata pada setiap guru. Malah dalam sistem kenaikan pangkat sekarang, angka kredit jabatan, posisi kepala sekolah bisa berubah dari posisi manusia kepada posisi Malaikat. Guru yang bisa mengamin dapat diberi SK dan diusulkan kenaikan pangkat. Guru yang mempunyai paham lain dapat disiksa dengan memencilkan, dimana pada akhirnya timbullah keonaran dalam tubuh sekolah. Persaingan guru sama guru membuat guru yang tersingkir, tidak kerasan berada di sekolah. Orang atau guru bila tidak mencintai lagi instansi sekolah tentu pengabdiannya pada dunia pendidikan semakin melemah. Sebaliknya bila guru mencintai sekolah dan sudi menjadikan sekolah sebagai rumah kedua tentu dia akan betah berada di sekolah untuk merawat dunia pendidikan.
Memang saat sumber daya manusia diperbincangkan pada tingkat nasional, tidak tepat lagi bila masih ada guru yang sengaja meninggalkan tugas mengajar. Malah yang lebih tepat dilakukan oleh guru untuk ikut menyukseskan program peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua adalah menguasai skil-skil. Bagi seorang guru ada tiga bentuk skill yang harus dikuasai yaitu, keterampilan (skill) implementasi, yakni menguasai materi pelajaran. Kemudian menguasai keterampilan komunikasi, untuk syarat ini guru mesti mempunyai wawasan. Dan, terakhir, menguasai keterampilan humanrelasi.
Tentang sumber daya manusia, walau sekarang baru ramai didengungkan namun leluhur pendidikan bangsa Indonesia telah dahulu menyerukan agar guru mengamalkan “ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tut wury handayani”. Dan begitu pula, berabad abad sebelumnya, Islam telah menyerukan “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat” Semuanya itu mengingatkan kita.
Tanggung Jawab Kepala Sekolah Unggulan Dalam Mengembalikan Mutu Pendidikan
Oleh Marjohan
Guru SMA neg 3 Batusangkar
KEADAAN sekolah-sekolah kita selama ini. Ibarat orang yang menderita sakit parah. Tetapi belum lagi sampai menderita kanker karena, mudah-mudahan, masih dapat disembuhkan.
Macam-macam cara yang ditempuh dalam mengobat mutu pendidikan yang anjlok ini. Mulai dari pembenahan kurikulum sampai kepada pembenahan disiplin, meski masih tetap bersifat seruan dan teori-teori. Maka kini, khusus untuk Sumatera Barat, Drs. Basri AS,M.M sebagai Kakanwil Depdikbud membenahinya lewat kepala sekolah unggulan.
Sekarang telah terlihat perbedaan pengangkatan kepala sekolah, yakni sistem lama dan sistem baru.
Pengangkatan kepala sekolah dalam sistem lama telah gagal dalam mengembangkan mutu suatu sekolah. Kriteria kepala sekolah seperti profesionalisme, berakhlak, punya manajemen, punya jiwa kepemimpinan dan kompetensi fikiran kurang diperhatikan karena faktor tender. Agaknya bukan rahasia lagi bahwa calon kepala yang unggul dalam jumlah finansial, walau tidak berakhlak atau berkompetensi, itulah yang akan menjadi kepala sekolah. Dimana pada akhirnya untuk mengembalikan dana yang hilang selama masa tender, maka ia menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis. Malah dana operasional yang seharusnya digunakan untuk kelancaran PBM bisa menguap ibarat kapur barus.
Pengangkatan kepala sekolah pada masa sekarang lebih berorientasi kepada kwalitas dengan harapan agar kepala sekolah selalu bersifat kompetitif dan selektif. Mudah-mudahan bersih dari faktor materi atau tender-tenderan.
Pengangkatan kepala sekolah tanpa memperhatikan kriteria telah menyebabkan mereka melakukan dosa-dosa selama menjadi kepala sekolah. Apalagi jabatan kepala sekolah cenderung bersifat jabatan abadi.
Ada beberapa dosa kepala sekolah yang menarik untuk diungkapkan. Seperti prosentase kehadiran kepala sekolah di sekolah yang kurang. Alasan pribadi dan sepele membuatnya berani mengatakan bahwa dia lagi dinas luar. Bila persentase kehadiran kecil maka bagaimana seorang kepala sekolah itu dapat menjadi panutan. Kemudian juga kurang transparan dalam masalah keuangan. Seperti dalam laporan pemanfaatan uang sumbangan orang tua murid kepada BP. 3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) dimana sekian puluh ribu rupiah digunakan untuk menutupi honor guru. Padahal dalam kenyataan honor tadi telah disunat sampai lima puluh persen dan dilipat masuk kantong. Begitu pula penggunaan dana operasional yang mana penggunaannya sering dirahasiakan. Dan tahu-tahu dana pendidikan ini digunakan untuk membangun istana pribadi atau membeli kendaraan luks. Dosa lain dari kepala sekolah selama ini adalah tidak melakukan supervisi kelas, meskipun hanya untuk lima menit saja. Sehingga sekarang ini kebanyakan guru mengajar ibarat dosen saja tetapi dengan cerita yang mengelantur kesana kemari.
Sampai detik ini masih banyak kepala sekolah yang tidak wajar sebagai kepala karena tidak memiliki ilmu manajemen dan sikap kepemimpinan, sehingga mereka memperlihatkan sikap yang aneh-aneh. Ada yang suka menggertak guru-guru dengan nilai BP. 3 atau dihalangi naik pangkat. Banyak juga kepala yang suka mendikte guru-guru, suka pilih kasih sampai kepada suka mengambil muka kepada pejabat pengawas sekolah. Misalnya memberikan laporan yang serba bagus yang berlawanan dengan fakta sebenarnya. Malah tidak sedikit kepala sekolah yang sengaja menjaga wibawa dengan cara “jarang ngomong” dengan guru-guru sebagai bawahan, dimana pada akhirnya dia sendiri akan menjadi bahan gosip oleh guru-guru pada waktu senggang.
Bagaimana kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan seleksi dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan selektif dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan agak terbelenggu. Ini tentu saja akibat kepemimpinan kepala sekolah yang asal diangkat saja. Dimana mereka seolah-olah memiliki hak veto. Dalam rapat, misalnya kepala sekolah tampak cenderung memaksakan ide atau konsepnya sebagai keputusan yang mutlak. Salah seorang guru mengungkapkan bahwa karena sebagian kepala sekolah kurang luas wawasannya menjadi alergi atas kritikan bawahannya. Sehingga untuk menghindarinya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya berdampak buruk atas kelancaran proses belajar mengajar.
Kita sadari bahwa yang membuat ekspresi guru tetap terkungkung adalah karena faktor diri sendiri yakni karena wawasan yang kurang luas dan tidak terlatih untuk berbicara, juga karena faktor kepala sekolah.
Dalam interaksi antara kepala dengan guru-guru sebagai bawahan lebih terlihat sikap subjektif. Guru yang sering menemui kepala, walau sembrono dalam mengajar, maka itulah yang dianggap baik dan loyal sehingga bisa tinggi dalam penilaian DP. 3-nya. Sedangkan guru yang biasa-biasa saja, pada hal sangat bertanggung jawab dalam pelaksanaan KBM, karena kurang ngomong maka dinilai biasa-biasa saja. Jadi inilah akibat Kepala Sekolah yang malas mengadakan turba (turun ke bawah) untuk meninjau guru-guru dan sekaligus menjalin hubungan sosial dan emosional.
Seperti yang kita kenal tentang tipe guru secara umum yaitu guru yang suka menolak gagasan kepala, yang karena dianggap kurang tepat, dan guru yang suka ‘nrimo’ atau guru yang berwatak ‘yes-man’. Guru yang pertama selalu menghadapi kesukaran karena adanya benturan-benturan pendapat dengan sang kepala. Dan sebetulnya tentang pendekatan ada mereka yang melakukan tapi caranya kerap kurang mengena. Seorang guru wanita mengatakan bahwa ada kepala yang dekat dengan bawahan tetapi tetap mempunyai wibawa. Sebenarnya inilah kepala yang mempunyai tipe ‘leadership’ & ini adalah tipe kepala yang dapat dijadikan kepala unggulan. Dan ada pula kepala yang dekat dengan bawahan tetapi dibawa lalu saja, ini terjadi karena ia tidak punya potensi dan bakat dan berhak untuk dimutasikan sebagai guru biasa saja.
Pada mulanya kita kurang yakin akan gerakan penggantian atau pemutasian massal atas pucuk pimpinan sekolah di Sumatera Barat ini. Tapi sekarang kenyataan ini telah sama-sama kita lihat dengan terlaksananya penyerahan SK (surat keputusan) mutasi kepala SMP dan SMU, SK promosi dari wakil-wakil yang lolos seleksi menjadi kepala, SK pensiun dan SK kepala sekolah untuk menjadi guru biasa.
pada mulanya keberadaan kepala sekolah itu tergambar dalam ungkapan ‘tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas’. Namun sekarang ungkapan itu berubah. Dimana kepala sekolah yang dinilai tidak mampu, langsung diberhentikan dan kembali menjadi guru biasa.
Pada mulanya tergambar bahwa seolah-olah jabatan kepala sekolah itu dapat dibeli lewat tender. Dan sekarang dalam manajemen dunia pendidikan yang baru telah berubah. Dulu faktor X lebih menentukan keberadaan seseorang untuk menjadi kepala sekolah.
Selama ini jabatan kepala sekolah merupakan jabatan abadi. Jika tidak ada promosi jabatan, maka tetaplah ia bertahan sebagai kepala sekolah selama bertahun-tahun. Dan kalau kebetulan daerah itu adalah daerah basah dan jiwa kepala sekolah adalah jiwa wiraswasta maka sempurnalah sudah sekolah itu sebagai lahan bisnis dan bukan sebagai lahan pendidikan.
Selama ini, terlepas dari berprestasi atau tidak, menjadi kepala sekolah tidak begitu sulit. Biasanya kepala sekolah mengusulkan wakilnya untuk dipromosikan sebagai kepala sekolah. Setelah itu entah bagaimana prosedurnya, sudah keluar saja SK kepala sekolah.
Gambaran selama ini bahwa kepala sekolah itu adalah hak milik, dapat dibeli dan dapat dipesan atau dititipkan. Dan di sekolah selama ini kepala sekolah lebih banyak duduk di belakang meja dan mengabaikan tanggung jawabnya yang lain.
Selama ini kepala sekolah seakan-akan lebih memperhatikan diri dan keluarganya dari pada memperhatikan bawahannya. Menjaga jarak dan jarang ngomong dengan guru-guru dan dengan pegawai. Dapat dihitung berapa kali ia berkomunikasi dengan pesuruh sekolah. Tidak ada gambaran bahwa kepala sekolah itu adalah sebagai bapak dari bawahannya sebab akibat sikapnya bawahan menjadi risih dan gugup kalau sama-sama berkumpul.
Karena selama ini orientasi kepala sekolah adalah membisniskan sekolah, walau hanya untuk segelintir saja, dan niat memimpin tidak ikhlas maka loyalitas (dedikasi) dan akhlak menjadi kabur. Apalagi kemampuan otak, manajemen dan profesionalisme serba nihil maka dampak kebijakan kepala sekolah kepada siswa sebagai objek sasaran pelaksanaan pendidikan juga kabur. Susunan program intrako dan ekstra kurikuler bagusnya hanya di atas kertas saja dan sulit untuk dibuktikan dalam pelaksanaan.
Jadi akibat kepala sekolah kurang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan di sekolahnya maka guru-guru juga tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan proses belajar mengajar. Guru pergi ke sekolah untuk mengajar hanya asal membayar hutang saja. Akibat pengabdian perangkat sekolah kurang becus maka murid-murid juga tidak becus dalam belajar dan genaplah kemerosotan itu dalam gambaran NEM yang tiap tahun semakin merosot juga. Maka setelah terjadi perobahan besar-besaran maka kini tanggung jawab kepala sekolah unggulan dalam mengembalikan mutu pendidikan adalah dengan memperbaiki manajemen yang berantakan ini.
DAYA SERAP MURID DAN MENTAL GURU
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan Kab. Tanah Datar
Imajinasi tentang guru tempo dulu yang kita dengan dari generasi tua adalah rapi, tenang, cerdas dan berwibawa. Sehingga sosok guru bagi muridnya adalah sebagai panutan dan dikenang sepanjang masa. Guru yang ideal terlukis dalam kalimat yang diekspresikan oleh Almarhum Kihajar Dewantara, “Ingmadya Mangunkaso, ing ngarso sung tulodo dan tut wuri handayani”. Masih adakah sosok guru yang begini sampai sekarang?
Tentu saja sosok guru yang ideal masih ada sampai sekarang. Namun guru-guru yang pengabdiannya meluntur juga banyak. Tidak perlu kita melihat terlalu jauh. Lihat sajalah keadaan guru-guru yang ada di seputar kita. Atau mungkin kita sendiri termasuk guru yang mengabaikan tanggung jawab? Untuk itu ada baiknya sekali-sekali kita melakukan introspeksi diri.
Telah banyak orang mengupas tentang penyakit yang ada pada profesi guru. Tulisan-tulisan itu tentu lebih banyak menyorot masalah sikap dan mental guru. Padahal guru sebenarnya telah mengetahui konsep-konsep nilai dan mental yang baik tetapi kenapa kemudian bisa merosot? Dengan kata lain kita katakan bahwa umumnya guru-guru tahu apa yang dilakukan dan bagaimana cara melakukan tetapi mereka tidak berbuat.
Gambaran guru sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersikap santai, suka pamer, masa bodoh dan pergi mengajar asal membayar hutang saja dengan arti kata pengabdian rendah. Lihatlah, misalnya ada guru wanita yang datang ke sekolah ibarat seorang artis sinetron dengan asesori ibarat toko perhiasan berjalan. Guru pria cukup banyak yang datang ke sekolah dengan melenggang kangkung dengan sebatang rokok terselip di bibir.
Agaknya penataran-penataran, apakah dalam bentuk MGMP, sanggar-sanggar pendidikan, berskala kecil sampai kepada skala besar, adalah mubazir dan membuang-buang dana negara saja. Tidak jarang terlihat begitu guru yang bersangkutan pulang dari penataran kembali mengajar ala Tarzan saja dan malah tanpa menyampaikan apa-apa saja misi penataran yang telah dibawanya.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, sebagai misalnya, tepatnya hanyalah ajang membuat satuan pelajaran saja. Dengan cara menyalin satuan pelajaran dari teman-teman dari sekolah lain atau dari guru inti. Itu pun lebih didominasi oleh aktivitas berbagai aib tentang sekolah dan pribadi orang lain dan bukan untuk membahas masalah yang ditemui di sekolah masing-masing. Paling kurang motivasi guru untuk mengikuti sanggar dan penataran adalah untuk memperoleh sertifikat untuk modal naik pangkat, mengharapkan uang transpor dari proyek penataran dan sarana untuk rekreasi walau sekali-kali diselingi oleh ketidakhadiran secara sengaja atau tidak disengaja. Sebetulnya segala bentuk penataran tetap efektif untuk meningkatkan kualitas guru-guru peserta. Andaikata guru-guru peserta adalah guru-guru yang mempunyai daya serap yang rendah terhadap ilmu pengetahuan, maka penataran ini mungkin cocok untuk saran remedial bagi mereka.
Adalah fakta dapat kita jumpai bahwa cukup banyak guru tidak suka membaca. Mereka biasanya dengan senang hati mengungkapkan alasan-alasan mengapa mereka tidak suka membaca. Dan untuk seterusnya kita dapat mempertanyakan bagaimana kualitas mereka dulu semasa masih berstatus mahasiswa hingga menjadi sarjana karbitan.
Cukup banyak kita melihat mahasiswa perguruan tinggi yang menuntut ilmu sekedar mode saja. Menuntut ilmu sekedar asal-alasan. Melangkah dengan gerak lesu dan mulus. Pergi kuliah Cuma melenggang atau paling-paling membawa buku tulis tipis saja. Jarang mahasiswa yang sudi menamatkan membaca buku mata kuliah, apalagi membaca buku-buku umum untuk memperluaskan wawasan. Kalau kemudian mereka dapat menjadi sarjana, itu pun bermodalkan ilmu dan pengetahuan dari catatan dan fotokopi-fotokopi lembaran buku yang disuruh dosen semata. Dan kalau ada yang menulis skripsi itu juga ditulis asal-asalan dan rekayasa. Andaikata penguji skripsi meminta agar calon sarjana memperlihatkan buku-buku referensi tentu mereka akan betul-betul kewalahan dan akan terbuka kedok kekurangorisinilan skripsi mereka. Pendek kata rata-rata mahasiswa malas membaca. Dan kalau mereka menjadi sarjana, bagi calon guru, kalau mereka tidak diangkat sebagai pegawai, terpaksa susah mengubah nasib. Itu disebabkan karena minimnya wawasan dan keberanian mental. Mereka serba canggung untuk banyak berbuat.
Kalau kita amati bahwa kurang terkuasainya materi pelajaran oleh para guru, itu disebabkan oleh berkembang cepatnya materi pelajaran. Perkembangan ini, apakah dalam bentuk konsep pendidikan, metode pengajaran maupun penyempurnaan kurikulum. Tetapi ini tidaklah begitu masalah kalau seorang guru tetap menyenangi membaca dalam usaha untuk meningkatkan kualitas diri.
Melihat metode pengajaran yang ada betapa mutu pendidikan ini tetap rendah. Ini semua akibat dari metode kuno yang tetap diterapkan oleh guru-guru karena metode ini terasa enteng, dan tidak menyita waktu yang banyak. Kita mengenal bahwa media pengajaran, misalnya, merupakan sarana yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi marilah kita hitung berapa orang betul guru yang masuk kelas secara lengkap dengan satuan pelajaran dan media. Nyatalah bagi kita bahwa metode mengajar guru-guru secara umum adalah berceramah dan ceramah melulu sampai pada akhirnya murid-murid menjadi pasif bagaikan beo berkepala manusia. Tetapi herannya kenapa ini kurang mendapat perhatian dari segala pihak? Malah sekarang apa pula kecenderungan guru-guru meninggalkan praktek labor IPA sejak peningkatan NEM digemakan di sekolah-sekolah. Sebab NEM adalah ukuran kualitas suatu sekolah, maka kerja guru dan murid dalam proses belajar mengajar lebih terfokus untuk membahas soal-soal yang akan di-EBTANAS-kan (?).
Cukup banyak, kita kira, guru yang asal membayar hutang saja dalam menunaikan tugas mengajar. Guru-guru yang begini cenderung tidak terikat pada target kualitas pengajaran yang dicapainya. Apakah saran yang cocok kita sampaikan kepada guru-guru yang senantiasa mengirim catatan saja ke sekolah dan ia sendiri membuat alasan yang cukup banyak? Atau guru yang setiap kali menyajikan pelajaran dengan cara mendiktekan pelajaran kepada siswa sampai habis target waktu. Lumayan jugalah kiranya metode berceramah, walau metode ini cukup berbahaya untuk mematikan kreativitas dan berekspresi murid.
Kebanyakan guru cenderung mengabaikan misi nasional pendidikan. Dimana mendidik anak berarti mempersiapkan generasi penerus bangsa. Adapun tekad pendidikan sekarang adalah berusaha untuk membentuk SDM yang berkualitas. Maka adalah secara tidak langsung. Dan itu karena pribadi guru yang santai dan masa bodoh atas kualitas diri sendiri dan kualitas anak didik mereka. Guru-guru sekarang, walau sebagian saja, lebih teperdaya oleh materi dan bentuk-bentuk hiburan dan kemewahan. Inipun sering terungkap dalam percakapan sesama guru dan terhadap anak didik. Pada akhirnya guru tidak mewarisi kekayaan intelektual pada mereka tetapi hanya mewarisi nilai materialistis, sehingga kelak segala sesuatu itu diukur berdasarkan materi dan uang.
Modal guru untuk masuk kelas, kalau boleh janganlah sebatas penguasaan bidang studi saja. Tetapi sangat layak guru kalau menguasai ilmu-ilmu lain untuk memudahkan menghadapi anak-anak didik, terutama bagi guru-guru yang mengajar di tingkat SLTP dan SLTA dimana anak didik berada pada masa topan dan badai, masa pubertas, yang tidak cukup ampuh menghadapi mereka dengan satu modal penguasaan bidang studi semata. Sekarang jelaslah akibat minimnya penguasaan ilmu guru, terutama ilmu psikologi dan ilmu pendidik, sehingga guru cenderung merasa tidak begitu penting mengenal individu murid sebagai bagian dari proses pengajaran.
Terakhir adalah sikap mental guru yang membuat daya serap murid rendah adalah sikap guru yang tak pernah merasa bersalah atas kemalasan dan keterlambatannya dalam mengajar. Cukup banyak guru secara sengaja atau tidak sengaja menunda kehadiran mereka di sekolah. Terlambat tiba di kelas dan cepat pula mengakhiri pelajaran sebelum waktunya tiba. Gejala sikap mental yang begini adalah akibat hidup tanpa membudayakan hidup berdisiplin.
Pada hakikatnya citra guru ideal itu tetap ada sampai sekarang. Cuma sekarang harapan kita adalah bagaimana kalau guru-guru seperti demikian dapat bertambah secara kualitas dan kuantitas. Kalau boleh kita sendiri juga harus mencerminkan guru ideal seperti yang dilukiskan oleh Almarhum Kihajar Dewantara agar dapat digugu dan ditiru.
Sikap kita untuk menjadi guru ideal adalah dengan cara bersikap sederhana, rapi, berwibawa, mengabdi kepada tugas dan mencintai dunia pendidikan serta selalu menambah ilmu pengetahuan agar luas dalam wawasan. Kita telah melihat bawa daya serap murid yang rendah, selain disebabkan oleh faktor lain, juga merupakan efek dari bentuk mental guru yang kurang benar. Dan sikap ini tentu saja dapat diatasi asal mau mengubahnya. Memang sudah sewajarnya untuk kembali mengangkat citra pendidikan dan citra guru kita harus kembali membenahi diri. Apalagi keberadaan kita sebagai guru semakin berarti dalam membangun bangsa ini.
KEMEROSOTAN DAYA TARIK SEKOLAH
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan Kab. Tanah Datar SUMBAR
Sampai sekarang, agaknya pendidikan masih dianggap sebagai investasi nasional. Investasi terhadap manusia dengan kata lain dapat dikatakan dengan istilah “investasi dalam kemampuan manusia” atau dalam istilah yang lebih umum adalah “sumber daya manusia”.
Suatu negeri tetap miskin karena investasi dalam kemampuan manusianya juga kecil. Untuk mengentaskan keadaan ini sangat diperlukan peningkatan dan pengembangan potensial dan tepatnya adalah peningkatan keterampilan dan pengetahuan dari segenap warganya.
Keadaan dan eksistensi negara ini pada masa datang sangat ditentukan oleh investasi sumber daya manusia sekarang ini dapat kita sorot ke dalam dunia pendidikan.
Ada kecenderungan pemerosotan daya tarik sekolah dalam kalangan pelajar. Semoga saja pandangan ini tidak terlalu mengada-ada. Banyak fakta-fakta umum yang dapat menyokong pendapat ini seperti makin banyaknya anak-anak sekolah yang berkeliaran dimana-mana pada jam belajar efektif, pelaksanaan disiplin yang macet, rendahnya perhatian masyarakat untuk menyerbu fasilitas pendidikan dibandingkan dengan fasilitas hiburan dan masih senangnya hampir sebagian besar orang yang bersikap bermalas-malasan.
Kemerosotan daya tarik sekolah penyebabnya dapat ditinjau dari beberapa segi, seperti dari segi sekolah, rumah, masyarakat dan lain-lain. Walau bagaimana setiap segi ini saling mempengaruhi dan memberikan dampak negatif.
Meskipun telah banyak orang membahas tentang berbagai kritikan termasuk kritikan tentang metode mengajar namun belum tampak reaksi positif secara menyeluruh. Sampai saat sekarang metode mengajar lama masih cukup banyak digandrungi oleh guru-guru meskipun mereka telah puluhan kali mengikuti penataran-penataran dan hampir tiap saat disuguhi teori-teori.
Bagaimana keadaan metode mengajar gaya lama? Yaitu metode yang membuat murid cenderung menghafal teks demi teks catatan yang diberikan oleh guru, apakah mereka memahami atau tidak. Pelaksanaan metode lama ini telah berlangsung cukup lama. Mengajar dengan metode yang demikian cenderung bersifat dogmatik dan otoriter. Cara dari metode ini sedikit mendorong murid untuk bertanya dan bersikap kritis atau tertarik dalam belajar mandiri di luar sekolah. Inilah penyebabnya kenapa sekarang murid-murid, malah juga sampai kepada mahasiswa cenderung membisu dan suka sebagai penonton dalam dinamika kehidupan. Dan ini pulalah penyebabnya kenapa banyak generasi muda suka kebingungan dalam mengisi hari-hari kosong mereka.
Suasana mengajar pada berbagai tingkat sekolah, dari tingkat SD sampai SLTA dan barangkali juga di tingkat perguruan tinggi dengan gaya “konsep bank” atau gaya hubungan “cerek dan cangkir”. Gaya mengajar ini cenderung untuk melemahkan kebebasan berpikir dan menumbuhkan sikap mencari serta berpengalaman, yang diperlukan dalam perkembangan.
Suasana belajar murid cenderung menunggu perintah dari guru. Buku-buku pegangan baru dibaca kalau ada perintah. Karena sering guru lupa memberi aba-aba untuk membaca, maka rata-rata buku pegangan masih utuh. Malahan buku yang sengaja dipersiapkan oleh pemerintah cenderung untuk menumpuk-numpuk di pustaka atau di rumah karena budaya malas membaca. Dalam menguasai pelajaran, caya yang cukup jitu dipakai adalah lewat cara menghafal. Dan ini tampak cukup merata untuk berbagai tingkat sekolah, sehingga suasana belajar yang demikian hanya membuat murid untuk mencapai target lulus saja dan memperoleh ijazah, bukan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan yang harus dibuktikan. Melihat gejala semakin kurang berkualitasnya lulusan sekarang, sehingga ada orang yang suka berkelakar mengatakan bahwa “ijazah itu hanya laku sampai di gerbang sekolah saja” dengan arti kata belum dapat diandalkan dalam kehidupan.
Situasi sekolah sekarang yang cukup mengecewakan telah membuat para lulusan tidak atau kurang berkualitas. Situasi sekolah yang mengecewakan ini adalah akibat, sekali lagi, bertahannya gaya mengajar metode lama. Proses belajar mengajar yang bersifat “text book” dan malah akibat murid belajar dengan sedikit buku atau tanpa buku pegangan sama sekali. Buktikanlah dalam kehidupan setiap hari kita melihat cukup banyak pelajar pergi sekolah melenggang saja atau Cuma membawa sehelai catatan “gado-gado” dan melipatnya ke dalam kantong. Kemudian guru dan murid cenderung bermalas-malas, mungkin akibat pemahaman kurikulum atau kurikulum itu sendiri cukup kabur dan guru kurang terlatih untuk menstimulasi aktivitas murid. Kenapa sekarang jarang guru yang bersikap profesional ideal? Ini bisa jadi disebabkan karena mereka miskin dengan ilmu, wawasan dan pengetahuan, sehingga ada saja murid yang berani mengatakan bahwa sebagian kecil guru ilmunya cuma “tua semalam” dari murid-murid.
Beberapa kritikan terhadap pendidikan yang menyebabkan semakin merosotnya daya tarik sekolah adalah sebagai berikut: Pengajaran yang serba bersifat Text-Book dan teori tanpa praktek. Populasi kelas yang cukup atau terlalu ramai dengan pengajaran cenderung melupakan program pengayaan atau perbaikan, kalaupun ada itu cuma agak berbau omong kosong saja. Murid-murid terlihat miskin dengan berbagai aktivitas pendidikan. Kurangnya penyediaan kebutuhan dan kapasitas untuk remaja. Proses belajar mengajar terlalu banyak didominasi oleh berbagai ujian, ada kalanya guru mengadakan ujian palsu karena kehabisan teknik mengajar. Dan tidak ada kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat dan dapat memperkaya wawasan siswa untuk menghadapi dunia kerja dan kehidupan nyata kelak.
Kemerosotan daya tarik sekolah dapat pula disebabkan oleh gaya belajar murid-murid itu sendiri. Memang kita akui bawa gaya belajar ini dibentuk oleh faktor sekolah, rumah dan faktor sosial.
Gaya murid, dan bisa jadi juga mahasiswa, dalam menguasai pengetahuan adalah dengan cara melengkapi catatannya persis seperti kata-kata guru dan dalam ujian mereka berusaha keras untuk mencurahkan, mengungkapkannya lagi, dari hafalan. Ini merupakan penghalang serius dalam mengembangkan kreativitas berpikir. Disini tampak bahwa murid lebih tergantung pada ingatan atau hafalan dari pada memahami masalah dan mengembangkan alasan (logika) serta kekuatan analisa untuk menyelesaikan masalah dalam hidup.
Sudah menjadi pemandangan umum bagi kita untuk setiap musim ujian. Murid biasanya menyediakan beberapa hari saja dalam seminggu sebelum ujian untuk bekerja dan belajar intensif. Dalam menyerap ilmu mereka sering tergantung pada catatan dari pada buku-buku pegangan. Dan selanjutnya mereka tergantung pada hafalan daripada pemahaman.
Untuk mencapai kematangan pribadi murid, agaknya sangat diperlukan campur tangan atau bimbingan guru, terutama orang tua, untuk mengelola dan memanfaatkan waktu. Apa yang sering kita lihat dalam melewati hari-hati yang panjang sebelum ujian tiba, tentu tidak untuk semua murid, adalah mereka cenderung untuk membuang waktu tanpa tujuan. Sehingga kalau ada murid atau mahasiswa kita yang beruntung untuk belajar di negara Barat, dan negara maju lain, akan tercengang melihat sungguh serius dan rajin para pelajar di sana.
Agaknya kemerosotan daya tarik sekolah cukup menentukan kualitas sumber daya manusia, atau lulusan suatu sekolah. Kita lihat bahwa lulusan SLTA tentu saja tidak semuanya yang terus ke universitas rata-rata kurang stabil secara emosi, kurang terbimbing secara intelektual dan lemah dalam pemanfaatan waktu. Sehingga membuat sebagian besar mahasiswa banyak buang-buang waktu dan sedikit yang punya kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Mereka tidak tahu kemana akan pergi dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Kalau begitu kita tidak perlu heran kalau banyak yang mengaku telah sarjana tetapi belum bisa membuktikan diri dalam kehidupan karena bisa jadi akibat “ijazah mereka hanya laku sampai ke gerbang kampus” saja.
Kemerosotan daya tarik sekolah dan untuk menambahkan ilmu untuk tingkat SLTA sudah mulai terasa ketika murid duduk di bangku kelas tiga. Rata-rata murid kelas tiga banyak belajar acuh tidak acuh dan sering belajar serampangan saja. Kemalasan yang mereka derita ini bisa jadi akibat bahwa umumnya mereka terganggu oleh anggapan masa depan yang kabur, tetapi suka masa bodoh, dan banyaknya pengangguran terdidik di seputar mereka. Kecuali kalau mereka suka menganalisa bahwa pengangguran terdidik yang menganggur itu adalah akibat kualitas diri masih rendah, selain suratan dari Ilahi, karena ilmu mereka baru hanya sebatas “text-book thinking” semata. Pendidikan memang penting bagi seseorang karena ia memberinya kesempatan untuk meningkatkan “income” dan tingkat kehidupan seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Untuk pendidikan lewat penguasaan pengetahuan dan skill dapat membuat kemungkinan peningkatan “output”. Untuk itu penting bagi seseorang untuk memiliki kebutuhan akan pendidikan dan sekolah. Kehilangan daya tarik terhadap sekolah dan pendidikan, selain disebabkan oleh berbagai faktor yang telah kita sebutkan di atas, juga disebabkan faktor orang tua. Murid-murid dengan perilaku negatif banyak datang dari keluarga dengan orang tua yang sibuk dan tidak mampu memberi perhatian. Dan kalau pun orang tua tidak sibuk, tetapi akibat mereka kelewatan dalam memberi perhatian dan pemanjaan, tanpa membantu anak dalam belajar dan mengelola waktu, telah membuat anak-anak mereka berkualitas jelek.
Kenapa daya tarik sekolah merosot bisa terjadi? Terhadap pertanyaan ini dapat kita dengar jutaan alasan dan keluhan. Dari sudut pandang murid, mereka punya alasan untuk mengeluh karena kondisi hidup dan sekolah yang tak memadai. Alasan atau keluhan ini adalah seperti: jarangnya mereka memiliki buku, fasilitas pustaka dan labor yang terbatas, tempat tinggal yang tidak memadai dan akibat sedikitnya kontak dengan guru dan guru bimbingan dan konseling. Keluhan dari segi guru adalah seperti: guru yang kurang terlatih, gaji yang kurang memadai sehingga banyak guru yang demam berhutang pada koperasi atau bank, kelas yang ramai, kurikulum yang belum layak, keadaan kelas yang dua shift, buku teks yang tidak menarik dan media mengajar yang sering tidak ada di dalam proses belajar mengajar.
Kini mengingat dan melihat tantangan hidup yang makin nyata agaknya kita mesti lebih serius dalam memperhatikan investasi manusia dalam arti peningkatan sumber daya manusia. Untuk itu sangat diperlukannya pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh guru yang cakap dan mahir. Sekolah tetap membutuhkan guru yang luas ilmunya, dapat beradaptasi, kompeten dan berbakti pada tugas. Di samping itu juga perlu sokongan orang tua. Malah tentu yang omong kosong bila sekolah berkualitas dan orang tua, dan juga masyarakat yang berkualitas menghasilkan murid serta mahasiswa yang berkualitas pula.
MENAGIH KEPEDULIAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan Kab. Tanah Datar , SUMBAR
Siapa yang lebih bertanggung jawab atas pendidikan anak, gurukah atau orang tua? Jawabannya tentu saja tergantung pada titik pandang setiap orang yang mencoba untuk menjawabnya.
Pada umumnya tanggung jawab mendidik anak diawali oleh kepedulian dan rasa tanggung jawab orang tua.
Perhatikanlah bagaimana sibuknya sepasang orang tua yang baru punya bayi dan anak Balita dalam mencukupi kebutuhan dan mendidik buah hatinya.
Mereka tampak begitu gembira dan menuturkan kepada siapa saja yang mau mendengar tentang perkembangan dan kemajuan yang telah diraih buah hatinya itu.
Begitu anak dikirim ke Taman Kanak-kanak untuk belajar bersosial maka sebagian orang tua cenderung menyerahkan urusan mendidik anak pada sang guru. Namun sebagian masih tetap memantau, mendorong dan mengikuti perkembangan mereka sampai pendidikan Sekolah Dasar selesai.
Dalam pengalaman ditemukan bahwa banyak orang tua yang jarang mengayomi anak belajar seperti saat mereka masih kanak-kanak, begitu mereka duduk di bangku SMP dan tingkat SMA.
Sering kita dengan keluhan orang tua tentang prestasi anak mereka anjlok yang setelah berada di SMP. Atau mereka kaget dengan watak anak yang dulu begitu terpuji tetapi jadi memusingkan saat duduk di bangku SLTA.
Kalau ini terjadi tentu ada pihak tertentu yang dapat untuk disalahkan. Setiap murid atau anak didik memiliki tiga aspek kehidupan, yaitu kognitif (otak), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
Ada kecenderungan masyarakat untuk melemparkan kesalahan pada guru “gagal dalam mengajar” bila prestasi kognitif dan psikomotorik anak di sekolah dinilai rendah, dan melemparkan kesalahan kepada orang tua atau lingkungan bila menjumpai anak tidak punya sikap dan akhlak yang baik.
Pada umumnya, bila anak mulai memasuki jenjang pendidikan formal maka orang tua menyerahkan urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Kepedulian nyata orang tua yang sering tampak adalah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan anak yaitu dalam bentuk sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya mereka menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dan untuk menekuni hobi dan hampir tidak punya waktu untuk menemani dan mengikuti perkembangan anak dalam belajar.
Banyak orang tua yang memiliki waktu lowong namun jarang yang memanfaatkannya untuk mendidik anak.
Penyebabnya adalah mereka sendiri tidak memiliki konsep bagaimana cara mendidik keluarga. Konsep mendidik anak bagi keluarga awam adalah menyerahkan anak ke mesjid dan ke sekolah, kemudian menghujani mereka dengan nasehat-nasehat, anjuran dan perintah atau kemudian memarahi anak kalau melanggar. Sebuah konsep pendidikan yang terlihat terlalu sederhana bukan? Dan ternyata hasilnya juga mengecewakan.
Dari pengalaman bahwa umumnya hampir setiap anak (terutama remaja) tidak terlalu memerlukan nasehat, apalagi nasehat yang diberikan secara bertubi-tubi dan nada mendikte.
Anak akan mencap orang tua yang begini sebagai orang tua yang sangat cerewet. Sebenarnya yang diperlukan anak dari orang tua adalah contoh teladan (contoh langsung) serta penyediaan sarana belajar dan kasih sayang.
Sedangkan memberikan nasehat apalagi nasehat dengan nada yang penuh emosi akan membuat anak menutup pintu hatinya dan bahkan juga menjauhi orang tuanya.
Demikian pula di sekolah, anak didik cenderung untuk membuat jarak dengan guru-guru yang pemarah.
Selama anak berada dalam usia belajar di sekolah formal, masyarakat (orang tua) cenderung menempatkan beban pendidikan ke atas pundak guru.
Di sekolah, anak diperkenalkan dengan sejuta aturan, mulai dari bagaimana hidup yang disiplin sampai kepada bagaimana mencapai keberhasilan hidup kelak. Di sekolah anak diajar untuk mengembangkan potensi diri, diajarkan sejumlah konsep dasar tentang kehidupan dan dibekali dengan tugas rumah (PR) sebelum pulang.
Namun di rumah, kecuali bagi segelintir keluarga, anak dibiarkan hidup tanpa aturan, tidak diajar mandiri, terlalu didikte, dan terlalu banyak dibantu sehingga konsep belajar di sekolah akan menjadi kontradiksi dengan konsep belajar di rumah dengan porsi belajar yang terlalu sedikit dibandingkan dengan porsi hiburan dan bersantai. Kita tahu bahwa kualitas pendidikan anak didik di sekolah yang pada umumnya cenderung turun atau selalu jalan di tempat. Walau banyak sekolah yang mengklaim bahwa telah terjadi peningkatan kualitas anak didik di sekolahnya. Secara umum itu hanyalah sebatas angka-angka hasil rekayasa dan manipulasi data.
Untuk fakta yang jelas, silahkan terjun ke lapangan untuk mengobservasi kualitas murid-murid pada setiap sekolah. Maka mayoritas terlihat murid yang minat belajarnya begitu rendah dalam suasana belajar penampilan mereka terlihat lesu dan santai ibarat orang kurang darah.
Melihat kondisi anak didik yang lesu karena fikiran mereka kurang terkondisi sejak dari rumah maka ini akan membuat guru kehilangan strategi dalam memotivasi mereka. Umumnya metode yang disodorkan guru agar anak didik bergiat adalah dengan cara marah-marah dan menakut-nakuti atas ketidakacuhan mereka selama belajar maka hasilnya adalah nihil.
Sebenarnya bila anak telah memasuki jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA, maka tanggung jawab mendidik menjadi tanggung jawab bersama antar guru dan orang tua.
Keberadaan orang tua dan guru dalam urusan mendidik adalah ibarat dua sisi mata uang. Hasil pendidikan tidak akan pernah sempurna kalau diserahkan saja kepada guru atau kepada orang tua yang notabenenya bukan sebagai pendidik.
Selama ini terlihat kecenderungan bahwa sekolah sendirianlah yang memikul beban pendidikan. Sejumlah pelatihan, penataran, seminar, lokakarya dan program penyegaran lain telah diberikan pada guru-guru dengan harapan agar pendidikan lebih berkualitas. Selama mengikuti kegiatan ini, guru memperoleh pembekalan tentang bagaimana pendidikan dan pengajaran yang ideal.
Dengan harapan agar pasca pelatihan mereka akan mampu membuat berbagai terobosan dan inovasi baru. Namun dalam kenyataan hasilnya tetap belum menggembirakan, malah cenderung tampak bahwa pasca pelatihan guru selalu menerapkan teknik dan metode mengajar seperti semula.
Kini terlihat bahwa untuk mendongkrak mutu pendidikan bangsa, sekolah bergerak sendirian tanpa melibatkan orang tua secara tegas dan memberikan isyarat tentang apa dan bagaimana seharusnya orang tua terhadap anak di rumah. Padahal untuk ini pemerintah telah menghabiskan dana jutaan dolar dan guru menghabiskan waktu serta tenaga untuk mengikuti berbagai pelatihan dan penataran hanya demi perubahan kecil saja dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sekarang kita patut beranya bahwa adakah ahli pendidikan yang memikirkan untuk memberikan pelatihan terhadap orang tua murid seperti memberi pelatihan kepada guru-guru atau adakah pihak sekolah secara kontinyu melowongkan waktu untuk berbagi pengalaman hati ke hati secara rileks tentang pendidikan dalam bentuk komunikasi dua arah dan tanpa menggurui orang tua?
Kepedulian orang tua dalam mendidik anak yang belajar di Sekolah Dasar apalagi pada tingkat SMP dan SLTA, seperti kepedulian mereka mendidik anak saat masih di Taman Kanak-kanak, mencukupi kebutuhan makanan, hiburan, mengembangkan sosial dan emosional, sampai dengan penyediaan sarana hiburan dan pendidikan adalah mutlak diperlukan. Dalam kenyataannya kepedulian orang tua nyaris berkurang. Pada hal saat anak menginjak remaja dan mengalami krisis jati diri mereka sangat memerlukan orang tua sebagai teman pendamping untuk berbagi pengalaman dan kegelisahan.
Memang tidak mudah untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak sampai tingkat remaja. Namun kalau orang tua selalu mau belajar dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan dalam hidup maka tidak akan ada hal-hal yang terlalu sulit untuk diatasi. Dalam zaman informasi ini yang mana pengetahuan serba mudah untuk diperoleh, maka setiap orang akan dapat mencari solusi dari buku, bacaan lain, dan dari internet serta paling kurang dari teman dalam bentuk saling berbagi pengalaman.
Kita perlu mengritik orang tua yang terlalu menomorsatukan karir dan pekerjaan tetapi sangat mengabaikan pendidikan anak sendiri. Dalam hidup ini cukup banyak kita temui orang-orang yang mantap dalam pekerjaan dan sangat trampil dalam mendidik dan membina orang lain tetapi gagal dalam membina anak-anak sendiri, apalagi kalau sampai drop-out dari sekolah. Kita pantas mengacungkan jempol kepada sang ayah dan ibu walau hanya pendidikan formal biasa-biasa saja tetapi punya wawasan dan konsep dalam mendidik keluarga, telah mampu berpartisipasi dalam menyukseskan pendidikan anak-anak di sekolah.
Dalam mendidik keluarga dan ikut menyukseskan pendidikan anak di sekolah, setiap orang tua perlu mengorbankan waktu, tenaga dan uangnya. Meluangkan waktu untuk membuat kebersamaan dengan anak adalah sangat penting. Adalah sangat tidak berguna meluangkan waktu sampai berjam-jam tetapi kebersamaan dengan anak penuh dengan pengalaman kemarahan dan beda pendapat. Anak memerlukan kebersamaan yang menyenangkan dan bermutu dan teratur tiap hari. Untuk itu setiap orang tua perlu untuk menata waktu dan keluarga kembali sebelum hal-hal yang tak diingini terjadi. Semoga menjadi renungan bagi setiap orang tua.
Salut upaya pemerintah dalam uji sertifikasi, mohon uji ini secara serius, bagi teman guru ikutlah dengan jujur. Tuk Pemerintah , bagi guru yang sudah lulus jangan biarkan menikmati besaran gaji tapi pantau terus agar profesionalisme sejati dan berbagi
Assalamu`alaikum Dimas. Jadi kapan ya kita ketemu di Cirebon? Syukur jika sekalian dg ayahanda. Oya, saya juga bisa dijenguk di http://www.dakusnandar.multiply.com
Bos Dimas yang terhormat…
Tolong disambungka atuh link blogspot saya..
Hehehe.. ini berhubungan dengan reputasi penulis di dunia maya ini…
Piss ah… 🙂
Mana tulisan barunya lagi Dimas? Tapi asik sekali blognya.
bagus juga ya blognya…. mau nggak wawancarain tekong tki di batam…. rame tuh… apalagi pemalsuan dokumen wuihhh. top banget dah.. maju terus bro
Minta informasi seputar tradisi pada masyarakat Sunda. Terima kasih.
Siapapun pengasuh disini,
Tolong sampaikan keluhan kami terhadap rri.
saya sepanjang waktu bekerja di proyek dengan lokasi-lokasi yang jauh dari keramaian seperti :
BatuBulan-Sumbawa Besar,Bili-Bili Sulsel,Lubuk Linggau-Sumsel,Tompaso Baru-Manado,sebagai pecinta siaran radio RRI gel.menengah dan panjang amat sangat sulit menangkapnya pada lokasi lokasi tersebut,tolong untuk kedepan diperhatikan karena ada misi yang sangat mulia oleh RRI yakni mengkofer semua informasi dengan visi Indonesia yang satu untuk seluruh wilayah Nusantara ini,kasihan bangsa yang didaerah kurang dapat porsi informasi.Tolong dengan sangat benahilah mutu siaran agar bisa menjangkau kesegala penjuru Nusantara,kenapa siaran bahas cina bisa mendominasi wilayah Indonesia?dan ini dibiarka saja sampai puluhan tahun? Ayo bang Parni sampeyan kami andalkan sebagai pemersatu Bangs ini lewat RRI mu,saya juga ingin dengar siaran wayang golek,wayang kulit ketika sedang jauh dipelosok,selamat berkarya
Dari saya Agus PW lebih suka dengarkan radio daripada nonton TV.Trmks.
Boss, keterangan ente gak lengkap ! Masa salah satu koran terkenal ibukota gak ada. POS METRO….
wao saya salut dengan pak fasli jalal dengan seabrek pengalaman. berbagi donk pak dengan guru. saya mau tanya tentang program peningkatan profesi guru sma di pmptk. thanks
mas kamu tyang tinggal di tukad sarikuning bali dulu gak
bagusss…
maju truzzz…
ok
suskses
bagus banget pokoknya
you are the best. Go ahead and b more creative,thanks
Sertifikasi Guru tengah berlangsung saat ini, bagaimana dengan sertifikasi pengawas sekolah, kapan akan dimulai ?
Saya pernah dilibatkan membahas PP UU Sisdiknas dalam workshop guru berprestasi. Salah satu pasal menyebut guru yang sudah lebih 20 tahun, meski belum S1, mengajar dapat mengikuti sertifikasi.
Saya, JS Kamdhi, pendidikan Sarmud, 26 th mengajar, 16 buku telah terbit, 5 kali mendapat penghargaan tingkat nasional, 3 tahun lagi pensiun.Adakah kesempatan ikut sertifikasi?
terima kasih
Js_kamdhi@yahoo.co.ic
Kamdhi’s Weblog
tolong imfonya yg lengkap tetang job kerja luar negeri.
Assalamu `alaikum wr wb.
Lama sekali kita tidak berkomunikasi. Apa kabar Dimas? Masih sibuk kuliah? Sudah jadi seorang bapak sekarang?
ya mememang Bapak Prof Winasa salah satu Bupati di Prov.Bali yang sangant inovatif berpikir jauh kedepan dan selalu berpikir dan berbuat agar rakyatny sejahtra melalui pendidikan gratis kesehatan gratis dan lainya lagi masik mbanyak program2 untuk meningkatkan kesejahtraan rakyatnya
kami ingin gabung and curhat2 gitu lho bisa gak yo…
bpk/ibu di bnp2tki yang saya hormati memang kami mengakui dg adanya bnp2tki urusan TKI ke luar negri banyak perubahan ke arah yang lebih baik khususnya ke Korea dg program G to G nya salah satu prestasinya yaitu bnp2tki mampu mengirimkan TKI melampaui dari kuota yang ada itu yang terjadi di tahun 2008 dan itu dalan dalam conteks pengiriman tetapi yang sangat sulit kita pahami adalah yang terjadi di tahun 2009 tentang pelaksanaan test-KLT menurut saya itu telah terjadi suatu kemunduran dalam hal transfarasi hail test yang mana sampai saat ini masih belum tranafaran. bnp2tki telah membuat bingung para peserta test karena bnp2tki sebelum hail test di umumkan bnp2tki telah mengumumkan bahwa standar kelulusan itu adalah minimal 80 dan maksimal tentunya 200 tapi kenapa yang di umumkan di internet tidak sesuai komitmen bnp2tki itu yang banyak di pertanyakan oleh calon TKI sekarang ini.kalu kita melihat pelaksanaan test sekarang ini jelas baik dari pelaksanaan test sampai di umumkan hasil test lebih transfaran ketika test tgl 9 desember 2007. gengan kejadian ini saya khawatir ini akan menjadi bumerang bagi bnp2tki dengan pelaksanaan test yang sangat kisruh ini. bpk/ibu di bnp2tki saya mengingatkan bnp2tki jangan mau di jadikan alat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena itu semua akan merugikan bnp2tki itu sendiri. terimakasih
Salut, atas kreatifitas untuk Blog-nya, saya pikir kita bisa bahas isu-isu yang aktual juga untuk bidang pendidikan,……
ass….
pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam peningkatan kualitas dan martabat bangsa. untuk itu mari kita berbagi untuk menemukan jalan baru bagi dunia pendidikan kita yang saat ini sedang dalam keadaan yang tak menentu…
salam dari desa…
Setelah pulang dari Kongreas IPI di Batam apa yang dapat saya ambil kesimpulan bahwa kongreas dapat berjalan lancar.Pemilihan ketua yang baru juga saya anggap lancar,Nara sumber juga mempunyai kemampuan yang bagus.Namun saya rasakan seminarnya kurang ok karena tidak pokus pada tema yang di usung yaitu;Pustakawan & pelestarian Budaya Bangsa. Tidak membahas tema secara mendalam,tidak ada kesepakatan bersama apa yang akan kita capai dan kerjakan dengan budaya kita.Mohon masa yang akan datang seminar harus pokus pada persoalan dan berikan waktu yang luas sehingga kita dapat memperoleh hasil yang jelas.terimakasih
jambi,23 Oktober 2009
salam kenal ya blog yang ok dan menarik sukses selalu thanks
assalamualaikum wr wb pak saya sudah minta bantu
an sekaligus lapor ke kantir bapak dari th 2006 sam
pai kemarin 4 mrt 2010 berkenaan tkw a/n eliyawati
bt tasdik 6 th tidak digaji sekarang putus komunikasi
majikan alamat jelas diproses pt sapta saguna tapi
sampai sekarang belum ada kejelasan kapan bisa pulang tolong pak kepada siapa lagi kami harus minta tolong trima kasih dan mohon maaf wassalamualaikum wr wb taslani ,brebes hp 081575353631
luar biasa, bagi donk ilmunya bikin web buagussss…
Assalamualaikum Wr. Wb. Prof. H. Fasli Jalal, Ph.D, saya adalah sala satu guru pns di mojokerto yang telah mengikuti sertifikasi guru tahun 2011, mohon Bapak berkenan memberi penjelasan kepada saya mengapa SK TPG dari Dirjen PMPTK saya tidak bisa dilihat di internet? apakah belum terbit? ataukah ada hal – hal lain? saya mohon dengan sangat penjelasanb dari Bapak, terima kasih atas perhatian dan penjelasan
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Suud Purnomo
Assalamualaikum Wr. Wb. Prof. H. Fasli Jalal, Ph.D, saya adalah sala satu guru pns di mojokerto yang telah mengikuti sertifikasi guru tahun 2011 melalui PLPG lulus dan sudah menerima sertifikat pendidik, mohon Bapak berkenan memberi penjelasan kepada saya mengapa SK TPG dari Dirjen PMPTK saya tidak bisa dilihat di internet? apakah belum terbit? ataukah ada hal – hal lain? saya mohon dengan sangat penjelasanb dari Bapak, terima kasih atas perhatian dan penjelasan
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Suud Purnomo
Dear Pak Dimas,
Terima Kasih banyak atas slide (file pps) mengenai GRMS nya.
Perkenalkan saya M Reza Razak, pekerjaan PNS di Jakarta,
sehubungan dengan saat ini saya sedang Thesis S2 di School of Government and Public Policy
maka apabila berkenan saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan untuk bahan Thesis saya mengenai E-procurement dan terkait dengan integrasi sistem lainnya khususnya di Pemkot Surabaya maka pertanyaan akan saya kirimkan ke Pak Dimas melalui Email, untuk itu mohon dapatnya menyampaikan alamat emailnya ke reza.razak@students.sgpp.ac.id
atau mrezazak@gmail.com
Terima Kasih.