Kisah Sedih Naskah Lawas

Bentuknya memang tak menarik mata, kertas tua nan kusam; lusuh; bahkan mungkin rusak di beberapa bagian. Tulisan yang tergurat juga tampak pudar, sulit dibaca. Belum lagi, tak banyak orang tertarik menggeluti aksara kuno di naskah lawas ini. Jadilah, naskah yang konon banyak bercerita tentang peradaban bangsa ini, tercampak dan mulai hilang ditelan waktu.

Banyak yang tak tahu betapa berharganya naskah-naskah lawas tersebut. Sebagai perbandingan, Kepala Perpustakaan Nasional RI (PNRI) Dady P Rachmananta, pernah ditawari naskah-naskah kuno berbandrol jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah. ”Malah pernah ditawari barter dengan bangun rumah ibadah. Beberapa naskah mungkin bisa PNRI ganti rugi, tapi kalau ratusan juta, uang dari mana,” katanya beberapa saat lalu.

Hingga tak aneh rasanya bila para kolektor atau penjual lebih senang menawarkan (baca: menjual) naskah lawas tersebut ke negeri-negeri tetangga. Sebut saja di Inggris sana. Sekitar 1.200 naskah berbahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda kuno tersusun rapi. Bahkan disebutkan dalam katalog tersebut naskah kita sudah bermukim di negara Eropa Barat itu sejak awal abad ke-17.

“Dengkul saya sampai bergetar begitu dibawakan kotak kecil yang isinya naskah folklor ‘Kancil Nyolong Ketimun’, di Leiden Belanda,” kata Kepala Bidang Konservasi PNRI, Ana Soraya, menyontohkan batapa negara kecil semisal Belanda begitu menghargai sejarah, bahkan sejarah bangsa lain.

”Beruntung negara-negara tersebut masih mengijinkan PNRI untuk mengambil mikrofilm naskah-naskah lawas yang teawat rapi. Sehingga tidak ”hilanglah” harga diri bangsa ini.

 Regsitrasi dan Konservasi Naskah Kuno

Perpustakaan Nasional sendiri, menurut Ana Soraya, memiliki sekitar 10.000 naskah kuno yang tersimpan dan terawat baik fisik maupun dalam dokumentasi mikrofilm. Kendati begiu, jumlah naskah yang beredar di luar, diperkirakan masih mencapai 20-30 ribu buah. Kebanyakan dimiliki oleh kesultanan dan pribadi.

“Isi naskah tersebut ada tentang obat-obatan khas Indonesia, sejarah, primbon, jamu, silsilah, folklor, nilai moral. Warisan leluhur,” kata ibu dua anak ini menjelaskan.

Pihak PNRI bukannya tanpa usaha dalam mengumpulkan dan meregstrasi naskah-naskah lawas tersebut. Banyak pemilik naskah kuno yang dihubungi dan minta agar kekayaan budaya itu diregistrasi dan didokumentasikan ke dalam mikrofilm. Bahkan tak tanggung-tanggung, pemilik naskah kuno diberikan pelayanan perawatan naskah tanpa biaya.

”Kami coba kontrol peredaran naskah-naskah kuno tersebut. Kalau mau diberikan kepada PNRI, kami rawat. Atau jika ingin dimiliki pribadi, setidaknya biar kami bantu rawat naskah tersebut, gratis. Asal ijinkan kami dokumntasikan dalam bentuk film. Dan kalau toh, terpaksa terjual atau dijual oleh pemiliknya karena keterbatasan dana kami, tolong ijinkan untuk mengambil dokumantasi mikrofilmnya,” kata Ana penuh harap.

Meminimalisir, kata Ana, lebih baik daripada hilang sama sekali. Dokumen mikrofilm tersebut nantinya akan dialih aksara, alih bahasa, dan dialih mediakan oleh PNRI. Sehingga para peneliti kebudayaan dan arkeolog dapat menggunakan naska-naskah lawas tersebut untuk menjelaskan perjalanan Indonesia di masa lalu.

Jadi bagi Anda yang punya atau mengetahui keberadaan naskah-naskah lawas, ayo selamatkan budaya bangsa ini dengan meregistrasikannya ke PNRI atau perpustakaan daerah. Ingat, tidak akan pernah ada bangsa yang besar tanpa belajar dari sejarah. (dimas@bipnewsroom.info)

One thought on “Kisah Sedih Naskah Lawas

Add yours

Leave a reply to aboezaid Cancel reply

Blog at WordPress.com.

Up ↑